YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET – Ahmad Mustanir kelahiran Mesir tahun 1989, berhasil mempertahankan disertasi pada sidang terbuka dan promosi doktor yang diselenggarakan Program Studi Hukum Islam Program Doktor (DHI) Universitas Islam Indonesia (UII). Sidang dilaksanakan di gedung KHA Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang Sleman, 22 Agustus 2024. Ahmad berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul Reformasi Hukum Penyelesaian Sengketa Wakaf Studi Kasus Pemikiran Tuan Guru di Lombok di depan promotor dan penguji. Sebagai promotor yakni Prof. Dr. Amir Mu’allim, MIS sedangkan sebagai copromotor adalah Prof Mohammad Solahuddin, M.Ag.
Disertasi Ahmad menggunakan metode kualitatif dan pendekatan yuridis sosiologis, dipertahankan di depan para penguji yang tidak saja dari UII namun juga dari UIN Mataram dan UIN Sumatra Utara, yaitu Prof. Dr. Drs. Tamyiz Mukharrom MA, Dr. Anisah Budiwati, S.H.I., M.S.I, Dr. Nispul Khoiri, M.Ag dan Dr. Drs. Yusdani, M.Ag. Sidang terbuka dipimpin oleh Dekan FIAI UII Dr Drs. Asmuni MA, sekaligus turut menguji.
Ahmad berhasil menyelesaikan studi doktor dengan meraih indeks prestasi kumulatif 3.70, sekaligus sebagai doktor ke-51 yang diluluskan FIAI UII, doktor ke 362 yang diluluskan UII. Sebelumnya, Ahmad menempuh studi sekolah dasar di SD Negeri Praya kemudian meneruskan setingkat SMP di MTS Darul Abror NW Gunung Rajak Lombok Timur, pendidikan setara menengah atas di MA Plus Munirul Arifin NW Praya Lombok Tengah. Gelar sarjana diraih setelah menyelesaikan studi di Prodi Muamalat Fakultas Syariah Institut Agama Islam Hamzanwadi, Lombok. Gelar magister diraih di Program Studi Ilmu Agama Islam Program Magister Universitas Islam Indonesia.
Ahmad Mustanir melakukan penelitian di Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada 4 kabupaten dan kota. Penelitian dilakukan dengan observasi awal dimana terdapat banyak aset wakaf berbentuk masjid dan madrasah di Lombok. Namun pemahaman masyarakat sekitar masih mengganggap wakaf hanya pemberian bersifat sukarela, sehingga sulit berkembang dan kurang berdaya guna dari sisi ekonomi. Selain itu di Lombok pengelolaan wakaf masih cenderung untuk kepentingan konsumtif, digunakan untuk sarana peribadatan, pondok pesantren dan madrasah, sehingga perlu didorong adanya wakaf untuk kepentingan produktif. Ada kerentanan ketika aset wakaf masih dikelola menggunakan na’ir perorangan di mana peran Tuan Guru di Lombok menjadi berpengaruh. Tuan Guru adalah tokoh yang memiliki ilmu pengetahuan agama dalam penyebaran Islam di Pulau Lombok
“Wakaf oleh umat islam diakui sebagai aktifitas ibadah yang nilainya tidak saja berorientasi pada sisi spiritual namun juga berkaitan nilai-nilai kemanusiaan. Secara teoritik, pada kajian ekonomi Islam wakaf diakui sebagai instrumen utama dalam pembagunan. Secara fungsional melepas hak kepemilikan pribadi untuk dimanfaatkan demi kepentingan umum. Dalam konteks pembangunan Indonesia, setidaknya wakaf memenuhi spirit keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,”kata pembuka Ahmad dalam paparan awalnya.
Selain itu, paparan Ahmad menjelaskan bahwa semangat wakaf adalah kebersamaan, jika ditarik dengan budaya indonesia adalah dengan identik dengan gotong royong menjadi cirikhas ekonomi kerakyatan yang dinyatakan dalan UUD 1945. Mengingat pentingnya wakaf, kelembagaan diatur secara detil, dalam perundang-undangan di Indonesia agar terhindar dari konflik kepentingan dari pelaksanaan wakaf.
”Walaupun sudah diatur detil, tidak jarang wakaf memicu konflik antar anggota keluarga, ahli waris, pengelola wakaf, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan pengusaha dan lainnya. Uniknya lagi dalam penyelesaian dalam sengketa wakaf, sangat variatif dan beragam.
Penyelesaiannya belum sesuai dengan maqasid dalam penyelesaian yang dimaksud, ada satu pihak yang masih dirugikan, sehingga perlu mewujudkan kemaslahatan sesama,” ujar Ahmad.
Ahmad Mustanir dinyatakan berhasil mempertahankan disertasinya, sekaligus mendapat dorongan untuk mengabdi di masyarakat.
”Anda tidak cukup berbangga jadi alumni UII, tetapi sesungguhnya bersyukur karena Anda menjadi alumni perguruan tinggi pertama di republik yang pendirinya adalah tidak lain pendiri bangsa negeri ini. Oleh karena itulah saudara Doktor Ahmad Mustanir harus menjaga nama baik UII dengan cara menjaga nama baik diri sendiri. Selain itu, ada relevansinya dengan gelar akademik Doktor Ahmad Mustanir, SH, MIH yan insya Allah akan mendapat gelar dari masyarakat yang disebut Tuan Guru Haji,” kata Dr. Drs. Asmuni, MA, Ketua Sidang Terbuka Program Doktor kali ini. (IPK)