YOGYAKARTA — Dimensi budaya berpengaruh terhadap penggunaan teknologi informasi, e-commerce. Karena itu, bagi penyedia layanan e-commerce harus memperhatikan budaya masyarakat dalam memasang iklan agar transaksi terus meningkat.
Demikian dikatakan Danar Retno Sari, Mahasiswa Konsentrasi Sistem Informasi Enterprise Magister Teknik Informatika, Program Pascasarjana Fakultas Teknik Industri, Universitas Islam Indonesia (FTI) kepada wartawan di Kampus setempat, Senin (12/2/2018). Penelitian yang dibimbing Dr R Teduh Dirgahayu ini dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kalimantan Timur (Kaltim).
Dijelaskan Danar, seiring kemajuan teknologi informasi, transaksi e-commerce terus mengalami peningkatan. Tahun 2016, transaksi e-commerce mencapai Rp 67 triliun. Kenaikan transaksi ini dipengaruhi budaya masyarakat. Ada lima dimensi budaya yang mempengaruhi yaitu power distance, individualism, masculinity, uncertaintiy avoidance, dan long term orientation.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dimensi budaya yang berpengaruh terhadap perilaku penggunaan e-commerce di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan Theory of Planned Behavior (TPB). Dimensi budaya digunakan sebagai indikator model TPB untuk mendukung pengujian terhadap perilaku individu dalam menggunakan e-commerce.
“Temuan penelitian ini adalah dimensi power distance dan masculinity berpengaruh terhadap perilaku pengguna e-commerce DIY. Sedang dimensi budaya uncertainity avoidance berpengaruh terhadap perilaku pengguna e-commerce di Kalimantan Timur,” kata Danar.
Dimensi budaya, lanjut Danar, dapat dijadikan sebagai parameter alternatif dalam meningkatkan penjualan produk menggunakan layanan e-commerce bagi penyedia layanan maupun penjual di masing-masing daerah. Sedang di dalam bidang akademik, penelitian ini menyajikan informasi tentang pengaruh dimensi budaya pada penggunaan e-commerce dari sisi perilaku.
Sementara Teduh Dirgahayu mengatakan penelitian ini bisa membantu bagi penyedia layanan e-commerce untuk menentukan cara berpromosi berdasarkan budaya masyarakat setempat. Namun temuan ini perlu didukung dengan sistem informasi yang bisa memilah daerah-daerah mana yang menjadi sasaran promosi.
“Hasil penelitian untuk wilayah DIY yang berpengaruh adalah budaya power distance dan masculinity. Sedang wilayah Kaltim budaya uncertainty avoidance. Agar cara berpromosi efektif, maka perlu mempertimbangan budaya daerah masing-masing,” kata Teduh.
Untuk bisa berpromosi ke masing-masing daerah, lanjut Teduh, perlu ada dukungan sistem informasi yang bisa mengantarkan pesan ke masing-masing daerah yang dituju. “Penelitian ini memang baru dua provinsi, seharusnya bisa dilakukan ke seluruh wilayah Indonesia dan perlu dukungan sistem informasi. Sehingga promosi yang dilakukan penyedia layanan e-commerce bisa tepat sasaran,” tandas Teduh.