MAKASSAR, JOGPAPER.NET — Dunia pendidikan tinggi harus berjalan di depan dalam memasuki era industri keempat atau Industri 4.0. Pemikiran-pemikiran inovatif dan berbagai alternatif menghadapi dampak Industri 4.0 seharusnya sudah menjadi fokus kajian yang rutin di kampus.
Ketua Bidang Penjaminan Mutu dan Kerja Sama Internasional Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Edy Suandi Hamid, M.Ec mengemukakan hal itu dalam Rakornas Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) wilayah Indonesia Timur di kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, Sabtu (7/4/2018).
Perguruan tinggi, kata Edy, bukan hanya memberikan bekal pada anak didiknya agar lulusannya dan masyarakat tidak gagap memasuki era Industri 4.0. Namun hal yang lebih utama adalah perguruan tinggi dapat memberikaan pemikiran kontributif dan mencerahkan bagi masyarakat secara keseluruhan.
“Kita tidak bisa membiarkan proses perubahan drastis yang terjadi mengalir saja secara alamiah. Sebaliknya melalui perguruan tinggi kita harus ikut mendesain untuk masuk dan menyiapkan diri menghadapinya. Lebih bagus lagi bisa ikut mengarahkan jalannya industri 4.0 itu, jadi bukan sekedar pengikut, tapi menjadi trend setter. Di sini peran perguruan tinggi sangat ditunggu,” kata Edy yang juga anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia ini.
Lebih lanjut Edy mengatakan era Industri 4.0 akan terus memunculkan teknologi baru yang melahirkan lompatan-lompatan inovatif. Di satu sisi, lompatan inovatif itu bisa mengembangkan berbagai produk-produk peradaban baru yang cepat dan canggih. Sedang sisi lain, bisa menimbulkan gangguan pada existing industry dan lapangan kerja.
“Berbagai dampak yang bisa bersifat disruptif dari inovasi teknologi yang pasti muncul ini harus diantisipasi. Bagaimana antisipasinya? Kampus menjadi tumpuan untuk memberikan jawaban dengan kajian-kajian atau riset yang dilakukannya,” ujar Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini.
Menurut Edy, saat ini bisa dilihat berbagai lompatan teknologi yang telah memunculkan inovasi disruptif dan berakibat terjadinya gesekan-gesekan dalam berbagai profesi di masyarakat. Selain itu, juga tergesernya tenaga manusia oleh perangkat teknologi yang ada dan efisien.
Konflik antara pebisnis, pekerja transportasi konvensional dan yang online, berkurangnya penggunaan tenaga manusia di layanaan perbankan ataupun juga kian sepinya mall dan toko-toko karena orang lebih suka berbelanja online, dan banyak kasus lainnya. Hal tersebut merupakan contoh imbas dari suatu inovasi yang tidak bisa dihindari.
“Tentu kita tidak ingin jadi korban perubahan tersebut. Dengan sumberdaya yang dimiliki, kampus bisa memberikan masukan tentang desain menghadapi perubahan tersebut. Tentu saja secara internal, kampus juga perlu mendesain kurikulumnya sendiri yang menyiapkan mahasiswanya menghadapi era Industri 4.0 ini,” tuturnya.
Dalam situasi ini Prof Edy sepakat perguruan tinggi perlu menambah jumlah lulusan berketerampilan khusus, seperti jenjang pendidikan Diploma (Vokasi). Data dari Kemenristek Dikti menunjukkan bahwa sampai tahun 2017 pertumbuhan lulusan D1-D4 masih sangat minim.
Pada tahun 2017 lulusan Diploma hanya tumbuh 4,3 persen, dan tahun 2016 tumbuh 5,6 persen. Besaran ini sangat jauh dari lulusan S1 dan S2 meskipun secara absolut angka lulusan Diploma lebih banyak. Mengembangkan mahasiswa dengan keterampilan khusus merupakan salah satu jalan yang dipercaya akan menambah peluang lulusan mampu menghadapi disrupsi. Selain itu, mahasiswa dalam jenjang apapun sangat perlu mengikuti program- program pengembangan kemahasiswaan yang telah disediakan oleh perguruan tinggi.
Dikemukakan, selain ancaman pengangguran ada lebih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam kaitannya dengan disrupsi. Pertama, arus teknologi sangat cepat dalam era disrupsi. Banyak kesempatan di mana teknologi akan menggantikan manusia. Dalam sektor industri seperti manufaktur, telah banyak pabrik yang menggunakan tenaga mesin untuk menjamin efisiensi. Teknologi tersebut juga sangat mudah untuk berpindah dan berkembang. Artinya, pasar sangat bebas memasukkan teknologi ke dalam industri.
“Namun dengan desain masa depan yang baik, riset-riset yang visioner untuk mengantisipasi masa depan, serta lulusan perguruan tinggi yang lebih kompeten dan lebih siap menghadapi inovasi-inovasi disruptif, maka pengalaman menunjukkan hilangnya berbagai lapangan kerja tertentu, dapat tergantikan dengan terciptanya lapangan kerja baru yang lebih luas. Itu dapat terjadi jika kampus menunjukkan perannya yang riil dan tidak hanya berada dalam menara gading,” tutup mantan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) ini.