YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Sinergitas ahli hukum dan ahli digital forensik sudah saatnya dilakukan dalam mengadili kasus-kasus yang berkaitan pelanggaran Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE). Keterlibatan ahli digital forensik dapat menganalisa kasus yang sedang ditangani secara teliti dan diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi warga negara Indonesia.
Demikian diungkapkan Yudi Prayudi, SSi, MKom, Ketua Pusat Studi Forensika Digital Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (FTI UII) kepada wartawan di Yogyakarta, Rabu (21/11/2018). Gagasan ini muncul setelah ada sejumlah kasus pelanggaran UU ITE dan korbannya merasa tidak mendapatkan keadilan.
Terakhir, kasus Baiq Nuril Maknun, yang dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) atas tindakan penyebaran rekaman suara perilaku asusila yang dilakukan atasannya. Ia dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Nuril juga dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta. Padahal Baiq Nuril merupakan korban pelecehan seksual oleh mantan atasannya, mantan Kepala Sekolah SMA 7 Mataram, pada 2014 silam.
“Saya melihat pengadilan atas Baiq Nuril ini, pada awalnya tidak menyertakan ahli digital forensik. Sehingga saya menilai informasi tentang penyebaran rekaman suara perilaku asusila ini kurang tepat,” kata Yudi.
Dalam kronologi, lanjut Yudi, Baiq Nuril merekam percakapan tindak asusila menggunakan smartphone-nya 12 Agustus 2012 pukul 16.30 WITA. Kemudian H Mudawin meminta smartphone Nuril untuk didengarkan, dicopi pada laptop dan flash disk. Selanjutnya, flash disk ini diberikan kepada orang lain, sehingga kasus rekaman menyebar ke mana-mana.
Menurut Yudi, hal yang perlu ditelusuri adalah bagaimana proses rekaman dilakukan dan bagaimana rekaman tersebut didapat sebagai barang bukti. Hal ini akan menentukan sah tidaknya rekaman yang diajukan dalam persidangan tersebut sebagai barang bukti.
Selain itu, terpenuhinya Pasal 6 dari UU ITE yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan. “Ahli hukum dan ahli TIK/Forensik Digital seharusnya dapat menjelaskan tentang kedudukan bukti rekaman dalam kasus ini serta terpenuhi unsur sebagaimana yang termuat dalam Pasal 6 tersebut,” tandas dosen Magister Teknik Informatika FTI UII ini.
Menurut Yudi, dalam kasus ini Baiq Nuril tidak bersalah, karena bukan dirinya yang menyebarkan rekaman itu. Tetapi Baiq menyerahkan handphone kepada H Mudawin yang selanjutnya digandakan dan disebarkan.
Selama ini, ujar Yudi, sudah banyak penegak hukum telah mengikuti pelatihan digital forensik. Namun pelatihan yang hanya berlangsung beberapa hari kurang efektif untuk menguasai digital forensik. Selain itu, pelatihan sudah dilaksanakan beberapa tahun lalu sehingga kondisinya sudah tidak seperti saat ini.
Karena itu, Yudi menyambut baik adanya usulan jika Ahli Forensik Digital sudah seharusnya menjadi pilar kelima pengadilan, khususnya untuk menangani kasus-kasus pelanggaran UU ITE. Selama ini, pengadilan pidana ditangani polisi, jaksa, hakim, dan advokad (Catur Wangsa). “Saya setuju, Ahli Forensik Digital menjadi pilar kelima pengadilan pidana. Ke depan menjadi Panca Wangsa (polisi, jaksa, hakim, advokad dan ahli forensik digital,” ujar Yudi.