YOGYAKARTA — Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menilai regulasi perpajakan rumit sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya kepatuhan pajak masyarakat. Karena itu pemerintah akan melakukan perbaikan regulasi perpajakan.
Sri Mulyani mengemukakan hal itu saat menjadi keynote speech dalam seminar “What Motivates Tax Compliance?” di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (20/10/2016). Seminar menghadirkan pembicara Prof James Alm PhD, President of Southern Economic Association USA dan Prof Bambang Riyanto PhD serta Dr Arti Adji yang merupakan dosen FEB UGM.
Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan dalam beberapa tahun terakhir penerimaan pajak di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan rasio pajak mengalami penurunan dibandingkan dengan negara lain.
“Penerimaan pajak kita dalam beberapa tahun terakhir jauh di bawah target. Kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan hartanya masih rendah sehingga membuat rasio pajak menjadi kecil,” kata Sri Mulyani.
Menurutnya, regulasi perpajakan masih dinilai rumit sehingga tidak memunculkan kepatuhan bagi wajib pajak. “Kita lakukan amandemen RUU Undang-undang Perpajakan (KUP) dan RUU Pajak Penghasilan (Pph). Regulasi pajak kita perbaiki supaya tidak menciptakan kompleksitas dan bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” katanya.
Sedang administrasi pajak, pemerintah mendorong perbaikan pada Direktorat Jendral Pajak (DJP). Dengan membangun dan memperkuat profesionalisme dan integritas sumber daya manusia dalam pelayanan perpajakan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan kemudahan dalam pembayaran, pelaporan, serta akses infromasi perpajakan berbasis pada teknologi informasi. “Untuk meningkatkan rasio pajak, pemerintah menetapkan kebijakan tax amnesty (pengampunan pajak),” katanya.
Pemerintah telah mentargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.495,9 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017. Jumlah tersebut, sebanyak Rp 1.271,7 triliun berasal dari pajak non migas. Sedang sisanya bersumber dari kepabeanan dan cukai sebanyak Rp 191,2, triliun dan PPH Migas Rp 33 triliun.
Sedang Prof James Alm mengatakan strategi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Menurutnya, kepatuhan wajib pajak sangat bergantung pada pemahaman dan motivasi individu maupun perusahaan untuk memutuskan membayar atau tidak membayar pajak.
Kendati demikian, terdapat sejumlah cara yang dapat diambil pemerintah untuk meningkatkan dan memotivasi wajib pajak. Salah satunya dengan deteksi dan pemberian sanksi.
Cara lain bisa ditempuh dengan perbaikan dalam administrasi pajak yaitu menyediakan layanan yang lebih simpel dan mudah bagi wajib pajak dalam membayar pajak. “Pemerintah pun harus mampu membangun kepercayaan dan meyakinkan masyarakat bahwa pajak yang dibayarkan dapat dikelola dengan baik,” kata James.
Sementara Prof Bambang Riyanto menyoroti tentang dampak struktur tarif cukai rokok terhadap tingkat kepatuhan cukai rokok pada industri rokok di Indonesia. Dari hasil survei tentang cukai rokok illegal yang dilakukan UGM memperlihatkan adanya ketidakpatuhan industri rokok terhadap pelakatan cukai rokok yang telah ditetapkan pemerintah. “Ketidakpatuhan ini diperkirakan karena adanya pengaruh struktur tarif cukai rokok Indonesia yang rumit terdiri dari 12 tingkatan tarif,” kata Bambang.
Hasil penelitian yang dilakukan Bambang bersama Dr Arti Adji dan Dr Elan Satriawan dari FEB UGM menunjukkan industri rokok cenderung melakukan kecurangan yang lebih besar dalam kondisi struktur tarif cukai yang rumit. Sebaliknya, kecurangan minim dilakukan dalam kondisi struktur tarif cukai sederhana.
Menurutnya, perlu dilakukan penyederhanaan struktur tarif cukai seperti dinyatakan dalam roadmap industri hasil tembakau. Isu keadilan dapat diakomodasi dengan jalan menerapkan tarif cukai menengah sehingga tidak mematikan industri rokok kecil.
Penulis : Heri Purwata