Penulis : Adeline
Mahasiswi Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Kekuasaan dapat membutakan naluri baik seseorang. Hal ini terbukti pada Anggaran proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan (e-KTP) sebesar Rp 2,3 triliun dari total Rp 5,9 triliun telah dikorupsi sejak 2011. Kasus ini disebut mega korupsi. Sebab korupsi ini dirancang dengan strategi yang begitu rapi dan banyak pihak yang terlibat.
Kasus Mega Korupsi e-KTP dimulai dari pemenang tender yaitu Konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), pejabat pemerintahan, politisi, hingga pengusaha. Andi Narogong, seorang pengusaha, dan konsorsium terbukti telah memberikan uang kepada panitia tender beberapa kali agar usulan susunan anggaran mereka disetujui Komisi II DPR RI.
Setya Novanto yang akrab dipanggil Setnov dianggap memiliki pengaruh dalam meloloskan rancangan anggaran tersebut. Alih-alih melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pejabat publik, ia justru termakan oleh kenikmatan sesaat. John E.E Dalberg (1834-1902), sejarawan Inggris berkata ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.’
Surat penangkapan Setnov pun dikeluarkan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pada 15 November 2017, diikuti dengan mendatangi kediamannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, Setnov dianggap tidak kooperatif. Namun, Setnov tertangkap dan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 April 2018 yang diketuai Yanto memutuskan Setya Novanto ditetapkan secara sah melakukan tindak pidana kasus korupsi dalam proyek e-KTP 2011-2012. Ia dinilai telah menyalahgunakan jabatannya untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan negara dalam hal ini mengintervensi proses penganggaran proyek e-KTP.
Setya Novanto dijerat dengan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. KPK melakukan pendekatan follow the money dalam menelusuri kasus ini. Lembaga tersebut berupaya untuk mengikuti alur transaksi uang sehingga dapat terlihat total nominal kerugian negara serta kemana saja dana tersebut mengalir.
Mantan ketua DPR periode 2009-2014 tersebut kemudian divonis 15 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 3 bulan kurungan penjara oleh Majelis Hakim Tipikor Jakarta. Juga membayar uang pengganti US$7,3 juta (uang yang terbukti diterima Setnov dari proyek e-KTP) dikurangi Rp 5 miliar subsider 2 tahun kurungan penjara.
Selain itu, terdapat juga pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terdakwa seperti memilih atau dipilih atau menduduki jabatan publik selama 5 (lima) tahun. Tuntutan tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan awal, yaitu hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 (enam) bulan kurungan.
KPK juga sempat menolak permohonan Setnov menjadi justice collaborator (JC). Dengan menjadi JC, artinya terdakwa menyanggupi untuk bekerja sama dalam pengungkapan perkara dengan penyidik jaksa penuntut umum. Namun, Setnov dianggap tidak memenuhi kualifikasi, antara lain memberikan keterangan penting dan informasi terkait pelaku lain yang lebih besar serta mengembalikan hasil kejahatannya.
Ia dianggap tidak sungguh-sungguh dalam menyampaikan informasi faktual terkait alur transaksi uang. Permohonan menjadikan JC dinilai KPK sebagai sarana untuk menghindar dari proses hukum.
Setya Novanto sebagai ketua DPR sudah mengkhianati rakyat dengan luar biasa serta menimbulkan kerugian negara yang nominalnya sangat besar. Tuntutan yang diajukan oleh jaksa KPK seharusnya dapat mencapai pidana penjara maksimal sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, yaitu selama 20 tahun.
Rasa keadilan yang diharapkan rakyat yang dirugikan tidak tersalurkan sampai hilir. Ditambah lagi, banyaknya peristiwa dan tindakan yang membuat publik mempertanyakan keseriusan aparat penegak hukum terhadap koruptor. Seperti kejanggalan yang ditemukan di sel Setnov dan tindakan ke luar Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) tanpa pengawasan pada masa pidana.
Usep S Ahyar, Direktur Eksekutif Populi Center, mengatakan keberhasilan hukum ialah saat hukum ditegakkan sesuai dengan Undang-Undang dan membuat efek jera. Selain itu, pelaksanaan hukum juga seharusnya memberi kesan pada orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama. Sekarang ini, dalam proses pemeriksaan pun masih banyak gate keeper yang ikut serta memberi fasilitas pada terdakwa. Hal ini harus lebih diangkat ke permukaan dan diberi perhatian yang layak.
Pencabutan hak politik yang hanya ditetapkan lima tahun terlihat begitu setengah hati. Hal ini memberi ruang Setnov untuk ‘bermain’ di tempat yang lain. Sebaiknya, Pengadilan Tipikor lebih berani dalam menetapkan keputusan seperti pencabutan hak untuk terlibat di partai atau lembaga politik seumur hidup. Selain itu, sebaiknya sistem pembinaan narapidana di Indonesia dapat segera dioptimalkan fungsinya agar para narapidana bukan hanya jera, tetapi juga memahami esensi dari keadilan dalam kehidupan bernegara. @@@