YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Industri Tekstil Indonesia memiliki peluang untuk merebut pasar dunia di tahun 2020. Saat ini, kapasitas industri tekstil Indonesia masih kecil sekitar 49 persen sehingga perlu ada ‘sentuhan’ agar bisa meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2024.
Demikian diungkapkan Dr Suharno Rusdi, Ketua Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (FTI UII) kepada wartawan di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu. Saat ini, industri tekstil Indonesia hanya menguasai sebesar 49 persen pasar dunia. Indonesia kalah dengan Banglades dan Vietnam yang sudah menguasai 80 persen.
Lebih lanjut Suharno mengatakan untuk bisa meningkatkan produksi, Indonesia harus melakukan revitalisasi mesin-mesin dengan teknologi terbaru. Revitalisasi mesin ini akan meningkatkan produksi dari 49 menjadi 80, selain itu, juga akan ada penambahan tenaga kerja sekitar satu juta orang sampai 2024.
“Tahun 2017 sekian, 2018 sekian, 2019 sekian, kalau kita diam-diam saja, naiknya hanya sedikit. Di akhir periode kepemimpinan Pak Jokowi hanya 17 miliar USD (Rp 238 triliun). Tetapi kalau kita merevitalisasi mesin, bisa menaikan kapasitas produksi, akan terjadi lonjakan menjadi 26 miliar USD (Rp 364 triliun),” kata Suharno yang juga Ketua Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI).
Dijelaskan Suharno, memang sudah ada pembaharuan mesin, tetapi masih menggunakan teknologi lama. Sehingga mesin-mesin tersebut mengonsumsi listrik besar dan kecepatannya rendah.
Suharno mengharapkan agar mesin-mesin direvitalisasi denga mesin baru dan teknologi baru.Mesin yang mengonsumsi listrik rendah dan kecepatan produksinya tinggi.
“Kalau mau mesin baru, teknologi baru harus ada pinjaman dari bank. Ini ibarat, untuk mengeluarkan air yang masuk telinga harus dipancing dengan air. Pada industri tekstil harus diinjeksi uang,” ujarnya.
Untuk merevitalisasi mesin tekstil, lanjut Suharno, membutuhkan dana sekitar Rp 1 triliun. “Kita butuh pinjaman dari bank untuk merevitalisasi industri tekstil. Kita ada added value sebesar 10 bilion USD atau Rp 140 triliun penambahannya,” tandas Suharno.