YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Likuifaksi atau tanah bergerak setelah terjadi gempa bumi sudah merupakan hal yang sering terjadi. Bahkan gempa bumi di Bantul tahun 2006, juga terjadi likuifaksi di Parangtritis. Namun kekuatan likuifaksi yang lemah tidak membuat kerusakan dan korban jiwa.
Likuifaksi menjadi populer saat membuat kerusakan dahsyat dan banyak korban jiwa ketika terjadi gempa bumi di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018 lalu. Berdasarkan hasil penelitian, likuifaksi disebabkan gempa bumi yang memiliki kekuatan di atas 5 magnitudo.
Demikian kesimpulan Kuliah Umum ‘Likuifaksi dan Kegempaan’ di Gedung Muhammad Natsir, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia (FTSP) Yogyakarta, Senin (27/1/2020). Kuliah Umum menghadirkan Prof Paulus Pramono Rahardjo dari Universitas Parahyangan dan Prof Widodo Pawirodikromo dari FTSP UII. Kuliah Umum diikuti mahasiswa UII, dosen dan mahasiswa perguruan tinggi lain, serta pegawai instansi pemerintah.
Dijelaskan Prof Widodo, gempa Bantul tahun 2006 juga terjadi likuifaksi di Parangtritis. Namun likuifaksi itu terjadi di persawahan yang ditandai dengan memancar air dari tanah di persawahan.
“Ada seorang petani yang saya wawancarai, dia melihat air yang muncrat dari tanah ke atas. Dia melihat likuifaksi itu sambil menggembala kambing. Sehingga terjadi eksodus dari selatan ke utara. Masyarakat menilai itu tanda kiamat,” jelas Widodo.
Sedang Prof Paulus Pramono Rahardjo menjelaskan berdasarkan hasil penelitian, potensi likuifaksi terjadi pada gempa yang berkekuatan lebih dari 5 magnitudo. Ada beberapa jenis likuifaksi mulai dari tidak mengakibatkan kerusakan hingga meluluhlantakan wilayah beserta bangunan dan penghuninya.
Likuifaksi terjadi akibat di dalam tanah wilayah yang terkena gempa ada sumber air. Air membuat kerusakan pada tanah dan bangunan di atasnya, selanjutnya, air mengalir menuju ke tempat yang rendah. “Akibatnya, infrastruktur di atasnya berlipat-lipat,” kata Paulus.
Untuk menekan jumlah korban, kata Paulus, perlu dilakukan mitigasi agar likuifaksi tidak banyak memakan korban jiwa. Hal yang menjadi dasar mitigasi adalah historical criteria (sejarah), geological criteria (geologi), compositional criteria, dan state criteria (kepadatan penduduk).
Sementara Wakil Dekan FTSP UII, Dr Kasam MT, mengatakan saat gempa bumi di Aceh tahun 2004, masyarakat awam belum banyak membahas tentang likuifaksi. Nun pada gempa bumi di Palu, likuifaksi menjadi perhatian masyarakat karena banyak memakan korban material dan jiwa. “Tidak hanya bangunan, tetapi tanah, bangunan dan penghuninya menjadi bubur,” kata Kasam.
Kasam menilai, Kuliah Umum ini merupakan diskusi yang sangat berharga. Ia berharap agar ditemukan rekayasa kegempaan dan ikutannya. “Suatu hal perlu sekali dikembangkan terus dan ketika akan terjadi gempa sudah siap dengan rekayasa. Sehingga kemananan dapat diantasipasi se awal mungkin,” tandas Kasam.