YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf atau Undang-Undang Wakaf tidak menetapkan status kepemilikan tanah wakaf. Hal ini berimplikasi terhadap pengelolaan tanah wakaf karena banyak kendala muncul sebagai akibat tidak adanya pemilik tanah wakaf.
Di antaranya, tidak ada pengawasan dan pelaporan dari pengelolaan tanah wakaf, pengelolaan tanah wakaf hanya sebagai pekerjaan sampingan oleh nāẓir bukan pekerjaan pokok karena nāẓir tidak mendapatkan upah. Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan baik apabila ada kepastian status kepemilikan tanah wakaf.
Fathurrohman Ghozalie, Hakim Pengadilan Agama Banjarmasin, Kalimantan Selatan mengemukakan hal tersebut dalam mempertahankan desertasinya di hadapan dewan penguji Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (Prodi DHI FIAI UII) Yogyakarta, Sabtu (29/8/2020).
Dewan penguji terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD (pimpinan sidang), Dr Drs Yusdani, MAg (Ketua Sidang), Dr Dra Junanah, MIS (Sekretaris Sidang), Prof Dr Kamsi, MA (Penguji 1), Dr Tamyiz Mukharrom, MA (Penguji 2), Dr Abdul Jamil SH, MH (Penguji 3). Sedang Prof Dr Amir Mu’allim, MIS, sebagai promotor dan Dr Sidik Tono, MHum (Co Promotor).
Desertasi Fathurrohman Ghozalie mengangkat judul ‘Kepemilikan Tanah Wakaf dan Implikasinya terhadap Pengelolaan Wakaf’. Suami Amelia Ramaniah ini dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar doktor. “Suami isteri ini meraih gelar doktor pada hari yang sama. Hanya waktu ujiannya yang berbeda, pagi dan siang,” kata Yusdani, Ketua Prodi DHI FIAI UII.
Lebih lanjut Fathurrohman Ghozalie mengatakan para ulama mazhab fikih, pada dasarnya sepakat bahwa harus ada pemilik tanah wakaf. Walaupun mereka berbeda pendapat siapa pemiliknya. Sebagian ulama menyatakan tanah wakaf menjadi milik Allah, sebagian menyatakan milik wakif, dan sebagian lainnya mengatakan milik penerima manfaat wakaf. Sedang dalam Undang-Undang Wakaf tidak menetapkan status kepemilikan tanah wakaf.
Kata Fathurrohman, kepemilikan tanah wakaf dalam pendapat para ulama tersebut tidak sesuai dengan teori kepemilikan dalam Islam dan kepemilikan tanah dalam hukum tanah nasional. Menurut teori kepemilikan dalam Islam, Allah telah menderivasikan milikNya kepada manusia maka tidak mungkin kepemilikan harta kembali kepada Allah. Sedang menurut hukum tanah nasional, kepemilikan tanah di Indonesia hanya diberikan kepada warganegara Indonesia dan badan hukum yang ditetapkan pemerintah.
Kepemilikan wakif, lanjut Fathurrohman, juga tidak bisa diterima teori kepemilikan dalam Islam. Menurut teori kepemilikan dalam Islam, kepemilikan wakif hanya kepemilikan tidak sempurna sebagaimana juga tidak sesuai dengan hukum tanah nasional. Sebab wakaf menurut Undang-Undang Wakaf adalah mengeluarkan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif sehingga harta wakaf harus beralih kepada orang lain.
Menurut teori kepemilikan dalam Islam, hak kepemilikan adalah hak untuk membelanjakan harta, memproduktifkan dan memanfaatkannya. Konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah manusia wajib mengelola dan mengembangkan harta yang dititipkan Allah kepadanya sesuai dengan ketentuan syariat agar kehidupan manusia bisa ditegakkan dan ciptaan Allah tidak sia-sia.
“Sehingga sulit untuk mengatakan bahwa harta yang telah dilimpahkan Allah kepada manusia sebagai pemberianNya kemudian ditarikNya kembali sebagai milikNya. Kalau harta wakaf kembali kepada Allah sebagai milik Allah maka harta akan terlantar. Sebab tidak ada yang mengelolanya karena tidak ada dalil yang menyatakan Allah mengelola sendiri harta yang menjadi milikNya. Juga tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Allah memberi kuasa kepada manusia untuk mengelola dan mengembangkan harta yang menjadi milik Allah,” jelasnya.
Karena itu, kepemilikan tanah wakaf sangat dibutuhkan karena dapat berimplikasi terhadap pengelolaan wakaf. Sehingga perlu ada penetapan status kepemilikan tanah wakaf agar pengelolaannya bisa optimal untuk kesejahteraan umat. (*)