YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Program Studi (Prodi) Hubungan Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (FPSB UII), Jumat (2/10/2020), menggelar Kuliah Pembuka tahun akademik 2020/2021. Kuliah pembuka secara virtual atau dalam jaringan (Daring) diikuti 307 mahasiswa baru.
Dijelaskan Ketua Prodi HI UII, Hangga Fathana, Kuliah Pembuka ini merupakan penutup dari rangkaian penyambutan mahasiswa baru HI UII. Sebanyak 307 mahasiswa baru merupakan hasil seleksi dari 3.539 pendaftar mengikuti Kuliah Pembuka ini. Selain itu, juga diikuti lebih dari 700 civitas akademika HI UII.
Menurut Hangga, jumlah mahasiswa baru merupakan wujud kepercayaan yang besar dari masyarakat. “Kepercayaan ini merupakan penyemangat bagi kami untuk terus meningkatkan kualitas guna mencetak Sarjana Hubungan Internasional yang adaptif dan berdaya saing global,” kata Hangga.
Kuliah Pembuka ini menghadirkan pembicara Gita Wirjawan, Advisory Board Chairman, School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia. Gita Wirjawan juga Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2011-2014). Selain Gita, juga menghadirkan Wafa Taftazani, Co-Founder Komisaris Utama Modal Rakyat dan Co-Chairman, Indonesian Youth Diplomacy.
Dalam kuliahnya, Gita mengatakan bagi setiap negara, kesehatan seharusnya menjadi prioritas dalam penanganan Covid-19. Kebijakan yang mengutamakan ekonomi dan meremehkan kesehatan secara jangka pendek memang cukup menggiurkan, namun hal ini berisiko dan tidak dapat memastikan keberlanjutan dalam jangka panjang.
“Jika kesehatan tidak menjadi prioritas, kepastian untuk beraktivitas ekonomi berkelanjutan akan menjadi tantangan terbesar yang dihadapi negara,” kata Gita dalam Kuliah Pembuka bertema “Politik Global Covid-19: Peluang dan Tantangan ke Depan.”
Lebih lanjut Gita mengatakan pandemi Covid-19 telah menyebabkan tiga goncangan (shock) di masyarakat. Pertama, shock gaya hidup, yang mana tadinya kita komunal, sekarang kita non-komunal. Tadinya kita fisik, sekarang kita digital. Kedua, shock informasi, kita menerima informasi dari banyak pihak, baik di dalam dan luar negeri, dan tidak semua informasi tersebut sinkron. Ketiga, shock kebijakan (policy), karena kebijakan yang dikeluarkan oleh berbagai tingkat pemerintah tidak selalu nyambung.
“Negara harus melakukan pendekatan ilmiah dan pemberdayaan sains untuk merumuskan kebijakan dalam menghadapi pandemi. Peningkatan angka testing Covid-19 menjadi wujud pendekatan ini. Kebijakan negara dalam menangani pandemi seharusnya tidak didasarkan pada intuisi,” kata Gita.
Pandemi Covid-19, jelas Gita, telah menekan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara. Meskipun beberapa negara melaporkan surplus perdagangan, namun harus dipahami bahwa surplus tersebut terjadi akibat penurunan impor yang lebih cepat dibandingkan penurunan ekspor. Pandemi juga menyebabkan peningkatan proteksionisme serta menciptakan disrupsi pada rantai pasokan, dan pada akhirnya menurunkan volume perdagangan global.
Sedang Wafa mengatakan saat ini Ekonomi Digital belum menyentuh hingga ke akar rumput atau grassroots, sehingga perlu ada upaya yang lebih agar perekonomian dapat merata. Wafa juga menekankan bahwa ada tiga kunci yang perlu dimiliki dalam menghadapi dunia saat ini. Pertama, menemukan apa masalah yang ada sekaligus pilihan-pilihan yang mungkin untuk menyelesaikannya. Kedua, memiliki mental ingin sukses sepuluh kali lipat lebih daripada orang lain. Ketiga, bekerja untuk mendapatkan pengalaman dan keahlian, bukan untuk uang.
Wafa yang lulusan HI Universitas Katolik Parahyangan dan Master of Business Administration dari University of Cambridge ini berpesan mengenai keilmuan HI secara khusus. “Ketika kalian lulus dari UII, kalian akan menghadapi dunia pasca pandemi yang pasti berubah dan dengan keadaan ekonomi yang luluh lantak. Maka semua tergantung pada apa nilai ekonomi (economic value) yang kalian bawa sehingga bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, terapkan pengalaman dan pengetahuan di dunia HI untuk hal-hal yang nanti menjadi pilihan karier atau pilihan usaha kalian,” kata Wafa.
Sementara Rektor UII, Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD mengatakan menghadapi pandemi, kebijakan yang tepat, konsistensi pengawalan kebijakan di lapangan secara istikamah sangatlah penting. Saat ini, baik menurut mereka yang menerima maupun yang menyangkal adanya pandemi (paling tidak di awal kemunculannya), semuanya sudah merasakan dampaknya yang dahsyat, termasuk pada sektor ekonomi.
“Karena pandemi sudah menjadi masalah lintasteritorial (negara, provinsi, kabupaten), maka penanganannya tidak mungkin efektif tanpa kerja sama antaraktor lintasteritorial,” kata Fathul.