YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Ketua Umum Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) Indonesia, Prof Dr Drs KH Muhammad Amin Suma SH MH MM mengajak masyarakat untuk ber-khusnudhon terhadap pemerintah dan DPR RI yang telah mengesahkan Undang-undang Omibus Law – UU Cipta Kerja Indonesia. Sebab filosofi pembuatan undang-undang tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Prof Muhammad Amin Suma mengemukakan hal tersebut saat menjadi keynote speaker pada Seminar Nasional ‘Pro Kontra Omnibus Law — UU Cipta Kerja Indonesia’ Kamis (22/10/2020). Seminar ini diselenggarakan Program Studi (Prodi) Doktor Hukum Islam (DHI), Prodi Magister Ilmu Agama Islam (MIAI), Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) bekerjasama dengan Prodi Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sultan Tahah Saifuddin Jambi, dan Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Seminar dibuka Prof Dr Amir Mu’allim, MA, Ketua HISSI Wilayah DIY. Sedang pembicara Dr Anton Priyo Nugroho, MM (FIAI UII), Dr Addiarrahman, MSI (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sultan Tahah Saifuddin-Jambi), Anang Zubaidy, SH, MH, (Direktur Pusat Studi Hukum FH UII-Yogyakarta), Agus Supriyanto, SHI, SH, MSI, (Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia, DIY). Moderator Januariansyah Arfaizar (Ketua Forum Mahasiswa Prodi DHI FIAI UII).
Lebih lanjut Muhammad Amin Suma mengatakan berdasarkan pendekatan keilmuan, Omnibus Law memiliki kerangka filosofis dan sosiologis. “Kita diajarkan untuk khusnudhon, wajib berbaik sangka kepada siapa pun. Apalagi kepada pemerintah,” kata Muhammad.
Menurut Muhammad, RUU Omnibus Law ini sebelum disahkan merupakan RUU yang betul-betul dikehendaki pemerintah dan memang dikehendaki RUU cepat selesai. Berdasarkan hukum Islam, ber-khusnudon diutamakan dihubungkan dengan innamal a’malu binniyat (niat baik) pemerintah maupun DPR.
“Kita ber-khusnudhon saja. Tidak mungkin pemerintah niatnya tidak bagus. Karena pemerintah ingin mewujudkan Sila ke lima Pancasila dan Pembukaan UUD 45 yaitu mensejahterakan masyarakat,” katanya.
Sedang masih ada pro dan kontra terhadap Omnibus Law, Muhammad menduga sisi sosiologisnya yang belum sesuai dengan harapan masyarakat. Sehingga setelah disahkan menjadi UU masih ada tanggapan dari yang santun hingga demonstrasi. “Ini pasti ada masalah,” jelasnya.
Berdasarkan analisanya, bila dilihat dari substansi tidak ada masalah. Kemungkinan permasalahan muncul karena metodologi yang digunakan tidak tepat. Terutama cara mensosialisasikannya. Konon proses penyusunan hingga pengesahannya dinilai sangat cepat. “Proses penyusunan Omnibus Law di negara lain membutuhkan waktu yang relatif lama sekitar delapan tahunan,” katanya.
Sedang di Inonesia, Omnibus Law mulai dari perencanaan hingga finishingwalaupun rapatnya sudah 60-an kali. Tetapi tengat waktunya relatif singkat. “Itu faktual lapangan secara sosiologisnya. Artinya, RUU Omibus Law tidak tersosialisasikan secara memadahi,” tandasnya.
Muhammad memahami waktu penyusunan Omnibus Law yang pendek. Sebab jabatan Presiden Joko Widodo hanya lima tahun. Sedang periode kedua ini sudah diselesaikan satu tahun, sehingga jabatannya tinggal empat tahun. “Ada alasan yang bisa diterima akal sehat, mengapa penyusunan Omnibus Law ini terburu-buru,” katanya.