YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Deviasi seksual dapat menjadi alasan perceraian pasangan suami isteri karena alasan tersebut dapat diterima syara’ dan urf (adat). Ada empat macam deviasi seksual yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum perceraian.
Ahmad Badawi mengemukakan hal tersebut pada ujian terbuka promosi doktor pada Program Studi Daktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (DHI FIAI UII), Senin (7/12/2020). Ahmad Badawi mengangkat judul desertasi ‘Deviasi Seksual sebagai Alasan Perceraian – Perspektif Hukum Islam.’
Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji yang terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD (Rektor UII/Ketua Sidang), Dr Drs Yusdani, MAg (Sekretaris), Prof Dr Amir Mu’allim, MIS (Penguji 1), Dr Tamyiz Mukharrom, MA (Penguji 2), Prof Dra Trias Setiawati, M.Si (Penguji 3). Sedang Prof Dr Khoiruddin Nasution, MA sebagai Promotor dan Dr M Muslich, KS, MAg selaku Co-Promotor.
Lebih lanjut Ahmad Badawi mengatakan perceraian diatur pada surat al-Baqarah 229. “Ayat tersebut mengatur bahwa perceraian dalam Islam hanya boleh dilakukan jika ada kekhawatiran atau ketakutan akan melanggar batasan-batasan yang telah digariskan oleh Allah Swt apabila pernikahan tersebut tetap dipertahankan,” kata Ahmad Badawi.
Berdasarkan hasil penelitian, Ahmad Badawi mengatakan ada empat deviasi seksual yang dapat dijadikan landasan perceraian. Pertama, jika deviasi seksual tersebut dapat menghalangi seseorang untuk berhubungan seksual dengan pasangannya. Kedua, jenis deviasi seksual termasuk dalam kategori perilaku yang buruk.
Ketiga, jika deviasi seksual tersebut adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Keempat, jika deviasi seksual yang dilakukan oleh seseorang dapat menimbulkan munculnya kekhawatiran pasangannya apabila terjerumus dalam hal-hal yang melenceng dari batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah.
Dijelaskan Ahmad Badawi, di masyarakat ada sembilan macam penyimpangan seksual. Pertama, hiposeksualitas atau yang lebih kita kenal dengan istilah Impotensia. Deviasi jenis ini pada dasarnya muncul karena adanya gangguan pada organ vitalnya dan ini menyebabkan ketidakmampuan seorang pria untuk bersenggama.
Kedua, frigiditas adalah bentuk deviasi seksual yang hanya dialami para wanita, dan termasuk keinginan dan kemampuan seksual wanita yang kurang bergairah. Frigiditas ialah keadaan di mana seorang wanita yang dingin atau kurang mempunyai keinginan seks.
Ketiga, hiperseksualitas dan nymphomania. Hiperseksual terjadi bilamana seorang pria memiliki hasrat seksual yang meledak-ledak dan selalu merasa ingin dipuaskan oleh pasangannya. Orang yang menderita kelainan seksual semacam ini biasanya akan meminta kepada pasangannya untuk melakukan hubungan seksual terus menerus, berulang kali tanpa terkendali, dan tidak pernah merasa puas. Sedang pada wanita biasanya lebih dikenal sebagai nymphomania.
Keempat, transeksual adalah gejala ketidakpuasan seseorang terhadap jenis kelaminnya sendiri karena merasa memiliki hasrat seksual yang berlawanan dengan kelaminnya. Ketidakpuasan ini ditunjukkan dengan berbagai cara, mulai dengan merubah kebiasan cara jalan, bicara, pakaian, dengan memakai perhiasan dan make-up, bahkan sampai pada usaha untuk melakukan operasi genitalnya agar sesuai dengan yang diinginkan.
Kelima, homoseksualitas dan lesbian. Homoseksual adalah bentuk penyimpangan perilaku seksual yang dilakukan sesama jenis oleh kaum pria. Sedangkan wanita desebut lesbian. Praktek penyimpangan seksual ini kiranya merupakan praktek deviasi seksual yang muncul paling awal, sebab dalam sejarah peradaban Islam sendiri hal itu
sudah muncul jauh sebelum Nabi Muhammad Saw, yakni sebagaimana yang lakukan oleh kaum Nabi Luth as.
Keenam, fethithisma adalah tindakan seksual seseorang dengan menggunakan benda-benda tertentu sebagai simbol cinta dan kasih sayang, atau sebagai simbol seks yang dengan barang tersebut ia dapat menyalurkan hasrat seksualnya. Benda yang dimaksud biasanya dipuja, disanjung, dicintai secara berlebihan. Dengan benda itu ia akan mendapatkan kepuasan seksual dengan cara diciumi, dipeluk, dibelai, dan digunakan sebagai alat onani atau masturbasi.
Ketujuh, sadomasokhisme adalah gabungan dari sadisme dan masokhisme. Sadisme adalah perilaku seksual yang aneh, para penderita kelainan ini tidak dapat memperoleh kepuasan seksual jika tidak menyiksa pasangan seksnya terlebih dahulu, baik secara fisik maupun mental. Sedang masokhisme adalah kebalikan dari perilaku sadisme. Para pelaku masokhisme mencari kepuasan seksualnya dengan jalan menyiksa diri secara fisik dan mental.
Kedelapan, exhibisionisme adalah cara pemuasan seksual dengan cara menunjukkan alat genitalnya kepada orang lain yang tidak ingin melihatnya. Tempat-tempat yang dipilih biasanya di pojok jalan, di dalam bus, dan tempat-tempat umum lainnya. Kebiasaan melakukan hubungan seksual di tempat-tempat umum seperti di tepi pantai, di tepi jalan tol, dan di toilet umum merupakan variasi lain dari gejala penyimpangan seksual ini. Praktek semacam ini akan menimbulkan gairah tersendiri bagi pelakunya.
Kesembilan, voyeurisme atau yang sering disebut sebagai skoptofilia adalah perilaku seksual yang dapat memperoleh kepuasan seksualnya dengan melihat orang telanjang. Praktek ini juga kadang disebut dengan “Peeping Tom”, karena dilakukan secara diam-diam (dengan mengintip).
Penelitian Badawi juga menemukan berbagai kasus perceraian sebenarnya sudah banyak yang muncul karena adanya perilaku-perilaku deviasi seksual dalam kehidupan rumah tangga. Di antaranya, Pengadilan Agama Jakarta Timur mengabulkan gugatan isteri terhadap suami yang hiperseksualitas. Bahkan akhirnya mendapatkan putusan Yurisprudensi dari Hakim dengan No. 630/ P.dt G/2009/ PA.JT.
Kemudian Pengadilan Agama Demak, Jawa Tengah, juga mengabulkan gugatan isteri pada perkara : 1014/Pdt.G/2010/PA.Dmk. Dalam kasus tersebut pihak istri menggugat cerai kepada suaminya karena si suami sering melakukan praktek sodomi ketika melakukan hubungan seksual.
Sedang Pengadilan Agama Yogyakarta, pada tahun 2009, mengabulkan gugatan isteri pada perkara No. 0542/Pdt.G/2009/PA.Yk. Dalam perkara tersebut si istri menggugat cerai suaminya karena sang suami memiliki kelainan seksual, yaitu lebih menyukai sesama jenis (homoseksual).
“Setiap pasangan suami istri, tentu menghendaki rumah tangganya berlangsung bahagia, sejahtera, dan harmonis, serta jauh dari konflik. Dalam ajaran Islam cita-cita tersebut sering disebut dengan istilah ‘keluarga sakinah’ yaitu keluarga yang dipenuhi mawaddah wa rahmah, saling mencintai dan saling menyayangi,” kata Badawi.
Sementara penguji, Trias Setiawati mengusulkan agar setelah putusan perceraian di Pengadilan Agama, pihak yang mengalami deviasi seksual perlu mendapatkan tindak lanjut untuk penyembuhan. Sehingga tidak ada ‘korban-korban’ baru pada perkawinan berikutnya.