YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Saat ini belum ada dasar hukum untuk memutuskan kepailitan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selama ini penyelesaian kepailitan BMT menggunakan hukum materiil yang seharusnya diperuntukkan Bank Syariah/BPR Syariah dan belum ada pengaturan secara khusus yang mengatur kepailitan BMT.
Sedang hukum formil yang diterapkan dalam penyelesaian kepailitan BMT masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wet Book), Het Herziene Indonesisch (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). Penyelesaian ini belum berdasarkan pada hukum acara perdata Islam. Sehingga untuk kepentingan di masa depan perlu dibuatkan hukum khusus kepailitan BMT.
Demikian diungkapkan Muh Yusron Rusdiyono dalam ujian terbuka untuk meraih gelar doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam (Prodi DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Selasa (9/2/2021). Moh Yusron Rusdiyono, Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Hikmah Bumiayu mengangkat desertasi berjudul ‘Konstruksi Penyelesaian Kepailitan BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) di Daerah Istimewa Yogyakarta Tinjauan dari Hukum Islam.’
Desertasi berhasil dipertahankan Moh Yusron Rusdiyono secara virtual di hadapan tim penguji yang dipimpin Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD. Dalam penyusunan desertasi, Yusron dipromotori Prof Dr Amir Mu’allim, MIS dan Co-Promotor Dr Tamyiz Mukharrom, MA.
Dijelaskan Yusron, penyebab kepailitan BMT di Yogyakarta adalah pertama, lemahnya sistem pengawasan intenal. Kedua, BMT belum menerapkan prinsip-prinsip perbankan Islam secara maksimal. Ketiga, tingginya ketergantungan BMT pada modal penyertaan dari pihak. Keempat, masih banyaknya pihak memanfaatkan BMT sebagai alat untuk mengeruk keuntungan finasial, dengan cara-cara yang tidak halal dan memanfaatkan logo syariah yang melekat pada BMT.
Berdasarkan hasil penelitian, Yusron mengusulkan kontruksi ideal penyelesaian terhadap kepailitan BMT. Pertama, sinkronisasi pengaturan tentang kepailitan BMT yang menyebar pada beberapa peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk membangun hukum kepailitan BMT di masa mendatang diperlukan tiga alternatif.
Kesatu, penyempurnaan dan sinkronisasi antara UU Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan Hukum Kepailitan Islam. Karena selain memiliki beberapa kesamaan, juga memiliki perbedaan yang prinsipil, sehingga dapat segera dicari titik temunya.
Kedua, terkait dengan hukum materiil tentang kepailitan BMT, maka Dewan Syariah Nasional (DSN) segera menerbitkan fatwa terkait dengan BMT. Khususnya, pedoman dalam menjalankan teknis produk, operasionalisasi dan sistem pengawasannya.
Ketiga, terkait dengan hukum formil, perlu adanya penyempurnaan dan sinkronisasi antara hukum acara perdata HIR dengan hukum acara perdata Islam. HIR menerapkan proses pencarian kebenaran formil, sedangkan dalam hukum acara perdata Islam mencari kebenaran materiil.
Sementara kedudukan dan derajat kreditur yang belum diatur dalam hukum Kepailitan Islam. Karena itu, hal ini mendesak untuk dirumuskan agar sebagaimana hukum konvensional yang telah membedakan dan mengklasifikasikan kreditur menjadi kreditur separatis, kreditur preferen dan kreditur konkuren.
Klasifikasi ini, kata Yusron, menjadi sangat penting agar pada saat kepailitan maka hak-hak kreditur akan terpenuhi berdasarkan pendekatan dan tata kelola harta dalam Islam. Jika klasifikasi kreditur dalam Islam telah dirumuskan maka kurator jika mengelola boedel pailit dalam kepailitan Islam bisa selaras dengan tujuan hukum Islam, bukan semata-mata dengan pendekatan konvensional yang sangat formalistik.
“Perlindungan terhadap kreditur kecil harus dirumuskan karena keberadaan hukum Islam bertujuan melindungi dan memberi keadilan bagi semua pihak, terutama bagi dhuafa,” kata Yusron.