YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Politik Luar Negeri Indonesia, bebas aktif terbukti tidak hanya relevan, tetapi semakin efektif serta sangat kontekstual merespon kondisi dan dinamika dunia saat ini. Kebijakan politik luar negeri Indonesia, diwujudkan dalam pendekatannya, strategi dan pelaksanaannya melalui berbagai cara, baik bilateral maupun multilateral di tingkat regional, kawasan, dan global.
Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar mengemukakan hal tersebut saat menyampaikan keynote speakernya pada Forum Debriefing Kepala Perwakilan Republik Indonesia secara virtual, Jumat (9/4/2021). Forum ini digelar Program Studi Hubungan Internasional (Prodi HI), Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri.
Forum ini menampilkan dua pembicara pertama, Menteri ESDM RI, Arifin Tasrif, Duta Besar LBBP RI untuk Jepang merangkap Federasi Mikronesia, berkedudukan di Tokyo (periode April 2017 – Oktober 2019). Kedua, Dian Triansyah Djani, Duta Besar LBBP/Wakil Tetap RI untuk PBB, berkedudukan di New York (periode April 2016 – Januari 2021).
Lebih lanjut Mahendra Siregar menjelaskan hubungan antar negara saat ini semakin dinamis dan penuh tantangan. Dalam perkembangan selama 14 bulan terakhir ini adanya pandemi Covid-19 membuat tantangan semakin berat.
“Perkembangan yang dapat dilihat dengan jelas yaitu sentimen nasionalisme di berbagai negara semakin marak. Bahkan tidak kita bayangkan sebelumnya, di tengah pandemi sentimen nasionalisme semakin jelas. Termasuk pengadaan dan distribusi vaksin Covid-19 di tingkat internasional, bahkan sempat muncul istilah ‘Vaccsine Nasionalism’,” kata Mahendra.
Selain itu, lanjut Mahendra, superitas di antara super power, terutama dua negara besar secara ekonomi Amerika Serikat dan RRT makin mengemuka dan masing-masing mengupayakan pihaknya semakin berpengaruh di kawasan maupun global dengan menarik sekutunya ke dalam kelompoknya untuk berhadapan dengan seterunya.
“Persaingan yang semula hanya geopolitik dan geoekonomi, saat ini sudah berkembang dan masuk ke berbagai sektor dalam persaingan ekonomi, teknologi, akses kepada sumber daya alam (SDA), dan masih banyak lagi yang tidak kita lihat sebelumnya,” katanya.
Sebagai dampaknya, kata Mahendra, terjadi polarisasi yang semakin terlihat. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi terjadi ketidakmerataan, ketidakadilan di antara negara-negara yang ada di dunia maupun di antara kelompok-kelompok masyarakat dalam masing-masing negara.
Di tingkat regional ataupun kawasan, jelas Mahendra, Indonesia senantiasa menjadi pilar penting di ASEAN, untuk menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan selama 50 tahun terakhir bisa dikatakan tidak ada peperangan atau persengketaan antar perbatasan anggota ASEAN. Itu menjadi modal untuk pembangunan ekonomi ASEAN. Sehingga saat ini menjadi motor penggerak ekonomi dunia.
Terakhir yang Indonesia capai, ASEAN yang di dalamnya Indonesia, menjadi promotor dan negara kunci dari keberhasilan suatu perjanjian perdagangan dan ekonomi strategis, melibatkan 15 negara, yaitu 10 negara ASEAN dan lima negara mitra kunci. Perjanjian ini dinamakan The Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
“Perjanjian ekonomi terbesar di dunia, dilihat dari jumlah populasi, dan kontribusi dalam perdagangan internasional. Salah satu yang penting di sini adalah untuk pertama kalinya yaitu tiga negara yang tidak pernah sepakat dalam suatu perjanjian bersama yaitu Jepang, Korea Selatan, dan RRT, justru untuk pertama kali menandatangani perjanjian ekonomi kemitraan yang begitu luas yang berbasis dan berpusat di ASEAN,” ujarnya.
Sementara Dr Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Kementerian Luar Negeri mengatakan Forum Debriefing Kepala Perwakilan adalah wadah bagi Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan dalam menyampaikan tanggung jawab publik bagi Kepala Perwakilan yang telah menyelesaikan masa bhaktinya di luar negeri.
“Melalui forum ini, publik memperoleh informasi langsung mengenai pelaksanaan visi dan misi Pemeritah Indonesia dalam melaksanakan hubungan bilateral atau multilateral. Forum ini merupakan upaya berkalanjutan BPPK Kementerian Luar Negeri untuk memperkaya rekomendasi kebijakan kepada Pimpinan Kemenlu, kata Siswo Pramono.
Sejak tahun 2017, kata Siswo, kegiatan Forum Debriefing diselenggarakan bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tidak hanya sebagai desiminasi pencapaian Perwakilan, tetapi sebagai forum silaturahmi antar pemangku kepentingan secara reguler.
Forum Debriefing yang digelar bersama UII ini cukup istimewa karena kehadiran Menteri ESDM. Selain itu, juga merupakan implementasi penandatanganan kerjasama antara BPPK Kemenlu dan Universitas Islam Indonesia (UII). “Ini sebagai bentuk implementasi Nota Kesepahaman antara Kemenlu dan UII yang ditandatangani tahun 2019 lalu,” kata Siswo.
Siswo juga meng apresiasi UII, di mana 32 alumninya telah menjadi bagian dari kekuatan diplomasi di Kemenlu. Beberapa di antaranya telah menjadi unsur pimpinan di Perwakilan RI, seperti Benny Bahanadewa, Duta Besar RI Athena periode 2012-2017. Chilman Arisman, Duta Besar RI Panama periode 2012-2017. Muhammad Aji Surya, DCM Kairo dan penulis buku yang produktif.
Sementara Dr Drs Imam Djati Widodo, MEng Sc Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset UII mengatakan salah satu pendiri UII adalah Moh Hatta sekaligus sebagai pencetus politik luar negeri bebas aktif. UII merupakan perguruan tinggi swasta yang memiliki perhatian pada perkembangan politik Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.
“Hal ini dilakukan UII tidak hanya membentuk jiwa analisis dan analisis lulusan, tetapi untuk membentuk institusi yang berkualitas, berintegritas dan peduli terhadap perkembangan Indonesia di dunia global,” kata Djati Widodo.