YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII) membuka Program Studi Farmasi Program Magister (PSFPM). Pendirian PSFPM sudah mendapatkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudaan Republik Indonesia No 110/E/0/2021.
Dijelaskan Prof Yandi Syukri, MSi, Apt, Ketua Jurusan Farmasi pendian PSFPM UII dilatarbekalangi tingginya kebutuhan pasar akan lulusan farmasi dengan kompetensi magister. Mereka akan menjadi pendidik, peneliti, pembuat kebijakan di pemerintahan, maupun sebagai praktisi di fasilitas kesehatan atau industri farmasi.
“Keberadaan PSFPM di UII ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil riset serta luaran riset di bidang farmasi dan semakin melebatkan manfaat untuk masyarakat lebih luas,” kata Yandi Syukri.
Lebih lanjut Yandi Syukri menjelaskan pendidikan di PSFPM dirancang untuk mempersiapkan lulusan magister farmasi yang unggul dalam pengembangan sediaan farmasi, pelayanan kefarmasian. Selain itu, PSFPM juga akan membekali dengan pemanfaatan maha data yang mendukung pembuatan kebijakan dan peningkatan kualitas layanan di fasilitas kesehatan.
“Perubahan global dalam era industri 4.0 dan society 5.0 telah menciptakan banyak tantangan. Di bidang kesehatan, penggunaan big data dan internet of things (IoT) telah mengubah sistem pelayanan kesehatan. Penyimpanan data pasien online, prediksi penyakit, distribusi atau cakupan pengobatan, sangat dimungkinkan untuk dilakukan dengan mengolah big data,” kata Yandi.
Selain Magister Farmasi, kata Yandi, tahun 2021, Jurusan Farmasi UII juga telah membuka Program Studi S1 Farmasi Kelas Internasional. Sedang Prodi S1 Farmasi didirikan tahun 1998 dan telah terakreditasi A. Program Profesi Apoteker didirikan tahun 2002 dan kini akreditasinya A.
Sementara Rektor UII, Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD mengatakan salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) adalah memastikan kehidupan sehat dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) untuk semua kelompok umur tanpa kecuali. Data dari WHO termutakhir yang dapat diakses (sebelum pandemi, 2018) menunjukan bahwa proporsi pengeluaran untuk kesehatan (current health expenditure, CHE) terhadap produk domestik bruto (gross domestic products, GDP) negara-negara berkembang cenderung masih rendah dibandingkan dengan negara maju.
Data ini, kata Fathul, memberikan gambaran proporsi pengeluaran bidang kesehatan dibandingkan dengan pendapatan nasional. Angka untuk Indonesia menunjukkan 2,87%. Bandingkan misalnya dengan Inggris (10%), Kanada (10,79%), Jepang (10,95%), Prancis (11,26%), Jerman (11,43%), Amerika Serikat (AS) (16,89%). Bahkan alokasi Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN, seperti Myanmar (4,7%), Filipina (4,4%), Thailand (3,7%).
Jika dinominalkan, lanjut Fathul, pada 2018, pengeluaran untuk kesehatan per kapita sebesar USD 111,7. Bandingkan misalnya dengan Inggris (USD 4.315) dan Amerika Serikat (USD10.624), atau bahkan dengan Singapura (USD 2.824).
“Saya yakin, ketika pandemi seperti ini, proporsi alokasi anggaran tersebut meningkat. Sektor kesehatan menjadi salah satu prioritas, apalagi dalam konteks di mana pandemi belum dapat seluruhnya dikendalikan,” kata Fathul Wahid.
Menurut Fathul, alokasi anggaran kesehatan, mempunyai kaitan dengan kualitas kesehatan publik. Ketersediaan infastruktur dan layanan kesehatan membutuhkan dana yang tidak kecil.
“Saat ini, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa disparitas kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih sangat luar biasa. Cerita tentang warga yang kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar di Puskesmas saja, misalnya, masih sering kita dengar. Ketersediaan obat yang berkualitas di setiap fasilitas layanan kesehatan dan pasar merupakan salah satu bagian lain dari ikhtiar menjaga kesehatan publik,” katanya.
Fathul Wahid juga menemukan data bahwa 90% bahan baku obat Indonesia masih diimpor. Salah satu alasan yang mengemuka adalah bahwa cacah perusahaan nasional yang memproduksi bahan baku obat di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga tidak memenuhi kebutuhan.
Pengembangan transfer teknologi dan sember daya manusia dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kemandirian. Dari persektif lain, pengembangan obat modern asli Indonesia dengan memanfaatkan bahan baku domestik (termasuk tanaman herbal) nampaknya menjadi tantangan yang harus dipecahkan dan dihadapi secara kolektif. “Secara hitungan ekonomi kasar, harga obat dengan bahan baku lokal, juga diharapkan lebih terjangkau oleh publik,” katanya.
Fathul mengharapkan kehadiran program studi farmasi program magister di Universitas Islam Indonesia, dapat berandil memecahkan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Salah satunya, dapat menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang lebih berkualitas di bidang farmasi.
“Komitmen untuk memanfaatkan mahadata untuk mendapatkan tilikan baru dan membantu peningkatan kebijakan kesehatan, juga diharapkan menjadikan program studi baru ini semakin penting dan sekaligus unik,” tandasnya.