YOGYAKARTA — Penasaban anak di luar nikah dengan ayah biologisnya lebih kuat legalitasnya dibandingkan dengan penasaban terhadap ibunya. Selain itu, hubungan keperdataan anak di luar nikah dengan ayah biologisnya sama dengan anak yang lahir dari pernikahan yang sah.
Demikian diungkapkan Subroto, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo, Jawa Timur pada ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor Hukum Islam di Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Sabtu (3/12/2016). Subroto berhasil mempertahankan desertasi berjudul ‘Legalitas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak Luar Nikah dengan Ayah Biologisnya (Telaah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif).’
Tim penguji terdiri Dr Ir Harsoyo MSc (Ketua Sidang), Dr Hujair AH Sanaky MSI (Sekretaris Sidang), dengan anggota Prof Dr Khoiruddin Nasution MA, Prof Dr Amir Muállim MIS, Prof Dr Abdul Ghofur Anshori MH (Penguji 1), Dr Drs Muslich KS MA (Penguji 2), Dr Tamyiz Mukharom MA (Penguji 3). Sedangkan Promotor Prof Dr Khoiruddin Nasution MA dan Co Promotor Prof Dr Amir Muállim MIS.
Lebih lanjut Subroto mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang telah memberikan penasaban dan hubungan keperdataan anak luar nikah dengan ayah biologisnya ternyata legalitasnya dalam hukum Islam dan hukum positif dapat diperoleh. Bahkan legalitasnya lebih kuat dibandingkan dengan anak luar nikah hanya dinasabkan dan dihubungkan keperdataannya dengan ibunya.
“Sehingga anak luar nikah dari segi nasab sama dengan anak yang lahir di dalam pernikahan. Karena anak tersebut lahir dalam keadaan suci dan tidak menanggung beban dosa yang dilakukan orangtuanya. Sehingga sudah selayaknya anak luar nikah harus disikapi sama dengan anak yang lahir dalam pernikahan,” kata ayah tiga anak ini.
Berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, negara harus menjamin dan melindungi hak-hak anak luar nikah sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan dan undang-undang. Karena itu, negara segera membuat aturan pelaksanaan putusan MK dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Undang-undang, atau Mahkamah Agung membuat surat edaran (SEMA) kepada pengadilan-pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut. “Ini demi terwujudnya kemaslahatan bagi anak-anak luar nikah yang jumlahnya semakin banyak,” tandas Subroto.
Menurut Subroto, penelitian ini dilatarbelakangi banyakya kasus pernikahan yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah (PPN) yang ditunjuk negara. Salah satu contohnya, pernikahan artis Machica Mochtar dengan Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara di masa Orde Baru.
Perkawinan yang dilangsungkan pada tanggal 20 Desember 1993 sudah sesuai dengan syarat dan rukun hukum Islam. Perkawinan ini menghasilkan seorang anak bernama Moehamad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono pada 5 Februari 1996. Namun perkawinan ini berakhir pada tahun 1998 dan Moerdiono tidak mengakui keberadaan anak hasil perkawinannya.
Karena tidak mendapatkan pengakuan, Machica Mochtar mengajukan gugatan judicial review ke Mahkaman Konstitusi. Sehingga keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang isinya anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang sah dan memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.
Penulis : Heri Purwata