YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD menandaskan perguruan tinggi tidak boleh menggadaikan idealisme. Menyusul perubahan lanskap lapangan permainan yang sangat cepat dan telah menghadirkan beragam dilema yang memerlukan pemikiran ekstra untuk membuat pilihan bermartabat.
Rektor UII mengemukakan hal tersebut seusai Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Rektor dan Wakil Rektor UII periode tahun 2022-2026 di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,5 Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (2/6/2022). Seusai dilantik sebagai Rektor UII, Fathul Wahid melantik empat wakil rektor.
Keempat wakil rektor adalah Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Pengembangan Karier, Dr Zaenal Arifin, MSi; Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni, Dr Drs Rohidin, SH, MAg; Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan, Ir Wiryono Raharjo, MArch, PhD; dan Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset diemban oleh Prof Dr Jaka Nugraha, SSi, MSi.
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan mengelola perguruan tinggi tak mungkin berhasil tanpa ikhtiar sepenuh hati. Beragam tantangan terhampar di depan mata, yang mengharuskan respons yang cepat dan tepat.
Menurut Fathul, perubahan lanskap lapangan permainan yang sangat cepat, telah menghadirkan beragam dilema dan memerlukan pemikiran ekstra untuk membuat pilihan yang bermartabat. Beberapa dilema terlihat komplementer, saling melengkapi.
Tetapi pada tataran operasional, kata Fathul, tidak jarang pilihan harus diambil, karena sumber daya yang terbatas. Situasi menjadi semakin sulit, jika pilihan yang ada bisa saling menegasikan atau bersifat diametral yang berpotensi melanggar nilai-nilai fondasi perguruan tinggi. “Refleksi ini menjadi semakin penting, jika kita sepakat bahwa perguruan tinggi tidak boleh menggadaikan idealismenya,” tandas Fathul.
Saat ini, tambah Fathul, banyak praktik pendidikan tinggi di Indonesia, dan juga berlahan dunia lain, yang terjebak pada pijakan neolibelarisme. Indikasinya beragam. Termasuk di dalamnya korporatisasi perguruan tinggi, dengan segala turunannya.
“Sebagai contoh, perguruan tinggi hanya dianggap sebagai penghasil lulusan sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang dimuliakan semua potenso kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan,” kata Fathul.
Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar dengan segala titahnya. Ruang diskusi yang demokratis akibatnya tidak mendapatkan tempat. Demokrasi mati di rumahnya sendiri.
Sedang dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi. Dosen bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi.
Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.
“Kini saatnya berhenti sejenak untuk melakukan refleksi secara kolektif. Saya sangat paham, lari dari jebakan ini tidak mudah, apalagi praktik tersebut seakan sudah menjadi norma baru, yang diperkuat dengan kebijakan yang mengekang, tanpa pilihan,” tandasnya. (*)