YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Ikatan Keluarga Alumni Raudhatul Ulum Sakatiga (IKARUS) Yogyakarta menggelar Bedah Buku ‘Diskursus Multikultural di Indonesia Suatu Pendekatan dan Kritik Sosial’ secara virtual,Kamis (4/8/2022). Narasumber penulis buku, Dr Arif Rahman, SPdI, MPdI, alumni MARU 2008, dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.
Ada tiga pembedah buku yaitu Dr Ahmad Sopian, SPdI, MSI, alumni MARU 2001, dosen STIT Raudhatul Ulum Sakatiga, Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Siti Jamilah, SS, MSI, alumni MARU 2001, Penyuluh Agama Kota Yogyakarta. Ahmad Farhan, SS, MSI, alumni MARU 1999, dosen UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu. Sedang host Deby Al Farizy, alumni MARU 2019, anggota IKARUS Yogyakarta.
Dalam keynote speech, Januariansyah Arfaizar, SHI, ME, alumni MARU 2004, dosen STAI Yogyakarta, Kandidat Doktor HIPD FIAI UII Yogyakarta mengatakan bangsa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lainya. Sehingga Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat ‘multikultural.’
“Multikulturalisme telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, namun tidak semua anak bangsa saat ini memahami apa yang digagas para pendahulunya,” kata Januariansyah.
Menurut Januariansyah, ulasan tentang multikulturalisme mau tidak mau akan bersinggungan dengan berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini. Yaitu, politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Masyarakat multikultural, kata Januariansyah, adalah masyarakat yang memiliki adat kebiasaan, cita-cita dan nilai hidup yang berbeda. Setiap kelompok masyarakat cenderung menganggap kelompoknya berhak atas klaim kebenaran absolut. Paradigma “orang kita-orang asing” merupakan hal yang sering muncul ke permukaan.
“Implikasi lebih lanjut dari paradigma berpikir yang seperti ini adalah munculnya sejumlah pelabelan terhadap kelompok yang mengarah pada pembentukan stereotip yang cenderung negatif. Akibatnya muncul prasangka, intoleransi dan diskriminasi. Dalam konteks subyektif ada hal yang biasa muncul, yakni tawar menawar, kompromi, konsensus; bahkan juga konflik, dominasi dan pemaksaan,” kata Januariansyah.
Mengutip Habermas, tambah Januariansyah, dapat tidaknya satu norma diberlakukan secara universal ditentukan dalam sebuah diskursus yang melibatkan semua pihak yang terkait. Habermas yakin bahwa diskursus dapat membongkar tembok-tembok etnosentrisme dan memperluas horison solidaritas sampai pada nilai-nilai universal kemanusiaan. “Diskursus mengandaikan sikap bebas pamrih dan tidak bertolak dari satu pandangan yang sudah menjadi harga mati,” katanya.
Sedang Arif Rahman mengatakan buku yang terdiri dari empat bab ini merupakan kumpulan tulisan dari 93 penulis. Bab satu membahas tentang Pluralitas dan Keindonesian: Asa Toleransi dan Nalar Kebhinekaan. Bab dua, Dinamika Multikultural : Kontestasi Sosial, Konflik Kultural, dan Integrasi Moral Kebudayaan.
Bab tiga, Masa Depan Multikultural di Indonesia: Dari Prinsip Menuju Moderasi Sosial. Bab empat, Pendidikan Multikultural : Urgensi dan Aktualisasinya di Indonesia.
Sementara Sesepuh Ikarus, Dr Yusdani MAg mengatakan tradisi bedah buku ini merupakan aktivitas luar biasa. Tradisi ini kalau kita bicara secara historis ini merupakan salah satu khasanah Islam.
Menurut Yusdani, multikultural masih menjadi persoalan sering terjadi salah paham. Salah satu contoh, ketika seorang berbicara multikultural itu implikasinya semua agama itu baik. “Menurut saya, itu ada problem kurang tuntas membaca multikultural sebagai sebuah gagasan,” kata Yusdani. (*)