YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pakar Komunikasi Universitas Widya Mataram (UWM), Dyaloka Puspita Ningrum, S I Kom, M I Kom mengemukakan Walking Tour bisa menjadi model pengembangan wisata baru. Walking Tour atau wisata jalan kaki yang mengajak pelakunya kembali mengenang dinamika masa lampau (bernostalgia) semakin hari terus meningkat penggemarnya.
“Walking Tour, nampaknya terus mewarnai media digital dengan sejumlah interaksi sosial para pelakunya yang tanpa batas usia, Mereka pun sudah saling terkoneksi,” kata Dyaloka Puspita Ningrum, Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) di Gedung Fisipol UWM, Jumat (17/3/2023).
Dijelaskan Dyaloka, The Power of Social Media begitu dahsyat dalam mengubah perilaku publik. Media sosial dapat menjadi panggung sosial, sebagai speaker, maupun sebagai amplifikasi/perluasan berbagai momen termasuk saat berwisata.
Sehingga jikalau ditinjau dari sudut pandang komunikasi pariwisata, praktik Walking Tour cukup menjanjikan sebagai salah satu produk dari bisnis pariwisata modern. Bahkan bisnis ini juga telah banyak diinisiasi kaum muda melalui experience tourism. “Idealnya memang sudah cukup layak menjadi atensi para stakeholder,” kata Dyaloka.
Menurut Dyaloka, Walking Tour telah menjadi salah satu bisnis kreatif dengan minat khusus pada beberapa destinasi wisata, baik di perkotaan ataupun perdesaan. Walking Tour menawarkan ciri khas, terutama menjadi wadah untuk memperkuat ikatan atau interaksi sosial yang berkelanjutan di antara pelakunya.
“Fungsi sosial dari komunikasi di dalam suatu kelompok kecil dapat semakin dioptimalkan berdasarkan kebutuhan dan pengalaman masing-masing pihak. Sehingga akan dengan mudah memperoleh kesenangan, khususnya yang merasa sefrekuensi satu sama lain pada kegiatan tersebut,” kata Dyah.
Wakil Dekan II Fisipol UWM ini menambahkan penyelenggaraan Walking Tour tidak lepas dari daya tarik seorang pemandu wisata (guide). Keberadaannya memberikan kebermanfaatan atas berbagai informasi menarik di suatu tempat yang dikunjungi. Sehingga pemandu wisata harus bisa mengemas informasi seatraktif serta seedukatif mungkin.
“Semangat Walking Tour memang dapat dijadikan semacam jembatan/model pembelajaran bagi para wisatawan untuk kian mengenal lokalitas dan keanekaragaman kebudayaan masyarakat yang dikunjungi,” katanya.
Menurut Dyaloka, aktivitas Walking Tour biasanya diadakan pada akhir pekan. Sehingga aktivitas ini berpeluang menjadi bagian dari produk pariwisata alternatif. Bahkan Dyaloka memprediksikan bisa menjadi The Economy of Attention di sejumlah sarana komunikasi modern dengan beragam informasi wisata yang terus meramaikan beranda netizen.
“Aktivitas Walking Tour dapat berdampak langsung untuk meningkatkan perekonomian nasional dan mampu membuka kesempatan kerja baru yang seluas-luasnya, terutama terkait percepatan isu bonus demografi,” kata Dyaloka.
Bonus Demografi, kata Dyah, diproyeksikan dapat mengurangi garis kemiskinan di masa mendatang. Keadaan ini apabila aktivitas Walking Tour dikelola dengan baik dan memerikan sumbangsih positif. Misal, tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang jauh lebih produktif dan siap dalam memajukan serta mem-branding kembali kegiatan kepariwisataan yang unggul.
Walking Tour, kata Dyaloka, harusnya didesain seperti Rethinking Tourism yang telah didengungkan Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dalam World Tourism Day ke-42. Tema tersebut ditekankan pada lingkungan dan sumber daya manusia.
“Sederhananya, aktivitas Walking Tour dapat dirancang dan dikolaborasikan dengan berbagai elemen penting lainnya. Diantaranya, destinasi, ekonomi kreatif, transportasi, vanue, ataupun atraksi seni di suatu kawasan. “Sehingga secara menyeluruh tidak menutup kemungkinan industri pariwisata Tanah Air dapat menyajikan suatu paket wisata yang menarik, mengagumkan, menantang dan juga mengesankan untuk para wisatawan dan pelaku wisata,” kata Dyaloka. (*)