YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Cyber resilience atau resiliensi siber sudah mendesak diterapkan perguruan tinggi dan organisasi-organisasi. Sebab saat ini, ancaman siber yang terus berkembang secara konstan mengharuskan kita untuk memahami dan menghadapinya dengan kesiapan dan ketahanan yang tepat.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD mengemukakan hal tersebut dalam sambutan tertulis yang dibacakan Prof Dr Jaka Nugraha, SSi, MSi, Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik & Riset pada pembukaan Seminar dan Workshop Yogyakarta Cyber Resilience 2023 di Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Senin (19/6/2023). Seminar menghadirkan keynote speaker, Dr Sulistyo SSi, ST, MSi, Deputi Keamanan Siber dan Sandi Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Badan Sistem Informasi, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Sedang pembicara seminar, Ismail A Hakim, Founder Cyberkarta; M Andri Setiawan PhD, CIO Universitas Islam Indonesia; dan Didik Hardiyanto MT, Badan Siber dan Sandi Negara. Seminar diikuti kurang lebih 200 peserta dari perwakilan fakultas di lingkungan UII dan perwakilan perguruan tinggi serta organisasi di Yogyakarta.
Lebih lanjut Fathul Wahid menjelaskan resiliensi siber adalah kemampuan suatu organisasi atau sistem untuk bertahan dari serangan siber, mengatasi dampaknya, dan pulih dengan cepat setelah terjadi insiden keamanan. Ini melibatkan serangkaian tindakan proaktif dan responsif yang melibatkan kebijakan, praktik, dan teknologi yang tepat untuk melindungi sistem, data, dan infrastruktur yang terkait.
Kata Fathul Wahid, saat ini sedang marak serangan siber yang melanda sistem keamanan, mencuri data pribadi, dan merusak reputasi organisasi. Serangan siber terhadap sebuah bank nasional beberapa waktu lalu, tampaknya masih segar dalam ingatan kita semua.
“Dampak dari serangan siber, tidak hanya terkait dengan infrastruktur yang tidak berjalan seperti seharusnya, tetapi lebih jauh dibandingkan dengan itu. Reputasi organisasi dapat runtuh dalam waktu sekejap. Reputasi yang tercoreng berdampak kepada kepercayaan publik yang semakin turun,” kata Fathul.
Menurut Fathul, memperbaiki kepercayaan publik bukan sesuatu yang mudah dilakukan. “Tentu, semua sepakat bahwa hal ini merupakan kerugian yang sangat besar, meski tidak mudah dikuantifikasikan. Karenanya, dalam kondisi seperti ini, penting bagi kita untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip resiliensi siber,” katanya.
Dalam seminar dan workshop ini, tambah Fathul, banyak aspek yang terkait dan penting untuk dikaji serta didiskusikan. Di antaranya, langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah serangan siber. Ini termasuk penerapan kebijakan keamanan yang kuat, pelatihan pegawai tentang praktik keamanan siber, dan pengujian kelemahan sistem. Selain itu, pemantauan keamanan secara proaktif dapat membantu mendeteksi ancaman sebelum terjadi.
Aspek lain, kata Fathul, dengan respons yang efektif dalam menghadapi serangan siber. Di sini diperlukan perencanaan dan persiapan yang matang. Organisasi harus memiliki rencana respons insiden dan, jika dimungkinkan, mengadakan latihan simulasi secara berkala.
Fathul menandaskan pemulihan yang cepat dan efisien setelah serangan adalah kunci untuk meminimalkan dampaknya. Sedang respons yang lambat dapat menyebabkan kerugian yang signifikan dan memperburuk reputasi organisasi.
“Ragam serangan siber juga berkembang dari waktu ke waktu. Karenanya, organisasi juga harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan keamanan yang cepat. Organisasi harus awas dengan tren baru dalam serangan siber,” tandasnya. (*)