YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Tawaduk intelektual merupakan sikap ilmuwan yang berada di titik tengah antara kesombongan dan keminderan. Jika tawaduk intelektual hilang, maka akan muncul dua sisi yaitu kekeraskepalaan dan keminderan.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengemukakan hal tersebut saat memberikan sambutan penyerahan Surat Keputusan (SK) Kenaikan Jabatan Akademik Guru Besar, Profesor Dr Ridwan SH, MHum, dosen Fakultas Hukum, Senin (6/11/2023).
Lebih lanjut Fathul Wahid menjelaskan sikap kerendahhatian atau tawaduk yang merupakah titik tengah antara kesombongan, di satu sisi, dan sikap mencela diri sendiri atau minder, di sisi lain. “Orang yang tawaduk tidak menghargai dirinya sendiri terlalu berlebihan alias tidak menjadi sombong, dan juga tidak terlalu merendahkan diri sendiri yang memunculkan rasa malu atau minder,” kata Fathul.
Fathul menambahkan begitu juga untuk konteks tawaduk intelektual. Ilmuwan harus menjaga sikap tawaduk intelektual ini agar tidak terjebak dalam situasi di dua ekstrim.
Sebab, kata Fathul, ketika tawaduk intelektual hilang, maka orang dapat terjebak dua ekstrem. Pertama, ekstrem yang memunculkan kekeraskepalaan (stubbornness) yang tidak mau berubah karena merasa semua pengetahuan yang dimilikinya sempurna dan tanpa cacat. “Sikap ini akan melahirkan arogansi intelektual (intellectual arrogance),” kata Fathul.
Kedua, ekstrem yang menimbulkan kenaifan (gullibility) yang mudah percaya informasi apa pun yang memaparnya. Sikap ini membuat orang terjebak pada keminderan intelektual (intellectual diffidence). Hal ini menjadi salah satu penjelas mengapa orang rasional dapat percaya hal-hal yang tidak rasional. “Kenaifan ini yang menjadikan seseorang mudah percaya dengan beragam informasi. Inilah juga yang menjadikan misinformasi atau hoaks bisa cepat menyebar luas,” katanya.
Menurut Fathul, jika tawaduk intelektual dijaga, maka ilmuwan akan terbuka untuk menerima hal baru selama ada dukungan bukti atau argumen. Ilmuwan pun tidak pernah mengklaim jika semua pengetahuan yang kita percaya atau produksi bersifat final.
“Dalam dunia saintifik, kebenaran selalu bersifat nisbi. Ketika ada bukti baru yang tidak mendukung, maka kebenaran tersebut ditantang: dibatalkan atau diperbaiki. Inilah yang oleh Popper (1963) disebut dengan falsifikasi,” jelas Fathul.
Fathul menambahkan, elemen tawaduk intelektual termasuk asesmen yang akurat terhadap kecakapan dan prestasi, kemampuan untuk mengakui kesalahan, kesenjangan dalam pengetahuan, dan juga keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan diri sendiri. Elemen lainnya adalah keterbukaan terhadap ide baru dan informasi yang mengandung kontradiksi.
Kata Fathul, mereka yang mempunyai tawaduk intelektual biasanya tidak berfokus pada diri sendiri, dan di saat yang sama mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari semesta yang lebih luas. Karenanya, dia akan mengapresiasi manfaat atau nilai dari segala sesuatu dan percaya bahwa setiap orang dalam berkontribusi dengan caranya yang berbeda-beda. “Menjalankan sikap tawaduk intelektual ini akan membantu membentengi kita dari kecenderungan arogan, otoriter, dogmatis, dan sekaligus dari bias,” tandasnya. (*)