YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada Prof Dr drh Sarmin, MP mengatakan domba dan kambing lebih adaptif terhadap cekaman panas ketimbang ruminansia lainnya. Sebab domba dan kambing memiliki kemampuan konservasi air lebih tinggi, berkeringat dan mampu mengatur pernapasan serta menurunkan produksi panas basal.
Kedua hewan kecil ini akan menjadi hewan ternak sebagai sumber ketahanan pangan yang ekonomis dan adaptif terhadap setiap perubahan iklim di masa mendatang. Karena domba dan kambing tahan terhadap temperatur dan kekeringan yang tinggi.
Prof Sarmin mengungkapkan hasil penelitiannya tersebut pada pidato pengukuhan Guru Besar bidang Fisiologi, di ruang Balai Senat Gedung Pusat UGM, Kamis (9/11/2023). Prof Sarmin menyampaikan pidato berjudul ‘Peran Fisiologi Hewan dalam Mitigasi Cekaman Perubahan Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian dan Produksi Ternak.’
Lebih lanjut Sarmin mengungkapkan domba dan kambing dianggap lebih toleran terhadap cekaman panas. Sebab kedua hewan kecil ini memiliki kemampuan sweating yang lebih tinggi, rasio yang rendah antara bobot badan dengan permukaan tubuh sehingga memungkinkan pembuangan panas yang lebih besar.“Ruminansia kecil ini menunjukkan berbagai respons adaptif untuk mengatasi dampak cekaman panas di wilayah tropis,” kata Sarmin.
Kata Sarmin, berbagai respons adaptif ruminansia kecil terhadap cekaman panas dapat ditandai dengan menurunnya nafsu makan serta frekuensi dan waktu memamah biak. Ciri-ciri morfologi ternak tersebut sangat penting sebagai bagian adaptasi karena langsung mempengaruhi mekanisme pertukaran panas antara ternak dengan lingkungan sekitarnya.
Sarmin menjelaskan hewan ruminansia kecil seperti kambing merupakan hewan ternak ternak yang didomestikasi pertama kali oleh manusia lebih dari 10.000 tahun lalu. Kambing telah dianggap sebagai ternak paling ideal dalam menghadapi berbagai cekaman lingkungan.
Kambing, kata Sarmin, juga tahan terhadap temperatur dan kekeringan yang tinggi. Berbagai kelebihan kambing tersebut, diperkirakan penduduk dunia di masa mendatang akan menjadikan hewan ternak ini sebagai sumber ketahanan pangan yang ekonomis dan adaptif terhadap setiap perubahan iklim.
Sarmin mengutip laporan badan pangan dunia FAO tahun 2018, diperkirakan ketika populasi ternak lain mengalami penurunan, maka populasi kambing justru meningkat melebihi domba. Di Indonesia, berdasarkan data statistik 2023, populasi terbesar ternak produktif di Indonesia adalah kambing yakni 19, 398 juta ekor dibanding sapi dengan jumlah 18,6 juta ekor.
Sarmin menjelaskan perubahan iklim yang terjadi sekarang ini telah berdampak pada produksi ternak khususnya ruminansia kecil. Adaptasi terhadap perubahan lingkungan ini menyebabkan ternak mengalami penurunan kualitas dan kuantitas maupun dari jenis pakan ternak karena munculnya stres nutrisional.
“Ternak yang mengalami stres nutrisional berisiko mempengaruhi pertumbuhan, metabolisme, produksi, performa reproduksi, kualitas dan kuantitas susu, imunitas alami ternak serta resiko terserang penyakit bahkan kematian ternak,” kata Sarmin.
Menurut Sarmin, fisiologi hewan merupakan kajian soal struktur fungsional serta mekanisme interaksi hewan terhadap cekaman lingkungan berupa respon morfologi, perilaku, fisiologi, hematologi, kimia darah dan metabolisme dalam bertahan menghadapi perubahan lingkungan. Karena itu, kajian karakterisasi profil adaptif pada ternak dalam menghadapi perubahan lingkungan terutama cekaman panas dan nutrisi menjadi penting dilakukan untuk menentukan strategi manajemen produksi dan konservasi pelestarian ternak.
“Peran fisiologi hewan menjadi penting berkontribusi dalam melestarikan dan meningkatkan produktivitas ternak sesuai kaidah animal welfare. Strategi adaptasi dan mitigasi yang tepat berdasarkan penelitian fisiologi hewan terbaru berpotensi memberi solusi untuk mempertahankan produksi ruminansia kecil terhadap perubahan iklim dan cekaman yang mengikutinya,” kata Sarmin. (*)