YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perseroan Terbatas (Persero) sekarang ini kinerjanya kurang optimal dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Hal ini disebabkan adanya ketidakselarasan atau disharmoni hukum dan peraturan perundangan yang tidak mendukung penerapan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada tujuan perusahaan.
Prof Dr Drs Paripurna P Sugarda, SH, MHum, LLM, mengemukakan hal tersebut pada pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (16/11/2023). Paripurna menyampaikan pidato berjudul ‘Meninjau Kembali Anggapan Yuridis Kekayaan Perseroan merupakan Bagian dari Kekayaan atau Keuangan Negara dan Perlakuannya di Masa yang Akan Datang.’
Lebih lanjut Paripurna mengatakan tujuan perusahaan adalah meningkatkan nilai pemegang saham melalui pencapaian laba yang ditargetkan maupun ukuran-ukuran kinerja perusahaan lainnya. Namun tujuan tersebut tidak tercapai secara optimal akibat adanya disharmoni hukum.
“Disharmoni hukum ini terletak pada perbedaan persepsi tentang kekayaan Persero yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan yang dianggap secara yuridis merupakan bagian dari kekayaan atau keuangan negara,” kata Paripurna.
Menurut Paripurna, perbedaan persepsi ini mengakibatkan BUMN tidak bisa melaksanakan tugasnya seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) secara optimal. Hal ini disebabkan akibat yurisdiksi hukum privat menjadi tidak terpisahkan dari yurisdiksi hukum publik khususnya hukum administrasi negara dan hukum pidana menyangkut mengenai aset dan pengelolaan Perseroan.
Kata Paripurna, klaim terhadap kekayaan Persero sebagai keuangan atau kekayaan negara ini tidak saja menghambat pencapaian tujuan perusahaan secara optima. Tetapi juga, dari perspektif hukum, khususnya hukum bisnis, telah mengabaikan asas-asas, teori-teori maupun adagium-adagium hukum maupun hukum bisnis yang menimbulkan ambiguitas dalam pengelolaan Persero. “Apakah berpegang pada hukum dan peraturan-peraturan hukum dan hukum bisnis di ranah hukum keperdataan atau harus berpegang pada asas-asas hukum pidana dan hukum administrasi negara di ranah hukum publik?” tanya Paripurna.
Eksistensi kedua ranah hukum tersebut, tambah Paripurna, menempatkan direksi dan dewan komisaris dalam posisi yang sulit. Peluang-peluang bisnis yang dipandang sangat strategik untuk mengoptimalkan keuntungan bisa jadi harus dilewatkan begitu saja jika berisiko merugikan perusahaan yang dapat masuk dalam ranah pidana korupsi.
Menurutnya diperlukan Pembaharuan UU BUMN agar nantinya secara tegas mencantumkan bahwa kekayaan Persero adalah milik Persero tersebut. Dengan penerapan asas lex spesialis derogat legi generali dan asas lex posteriori derogat legi priori, maka klaim kekayaan Persero sebagai keuangan atau kekayaan negara bisa dikesampingkan.
“Pada saat yang sama, perlu kiranya dilakukan peninjauan ulang terhadap anggapan yuridis kekayaan Perseroan adalah bagian dari keuangan atau kekayaan negara,” tandas Paripurna.
Selain itu, kata Paripurna, diperlukan juga sikap profesionalisme dan integritas para pengelola Perseroan dituntut ada dalam mindset para pengelola Perseroan untuk memiliki independensi dalam setiap pengambilan keputusan bisnis dalam pengelolaan Perseroan, sehingga terbebas dari peluang terlibat dalam perbuatan moral hazard dan pelanggaran prinsip-prinsip Good Corporate Governance.
Namun yang tidak kalah penting, imbuhnya, para direksi BUMN juga mematuhi rambu-rambu kepidanaan dalam bentuk penyuapan, penggelapan, pencurian, penipuan, pemalsuan, serta hukum-hukum sektoral yang memberikan ancaman pidana, seperti pada hukum perbankan. “Rabu-rambu ini tentu saja tetap akan berlaku bagi siapapun yang melanggarnya, baik di lingkungan Perseroan atau pun di lingkungan swasta,” harapnya. (*)