YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, mengukuhkan dua guru besar, Prof Rifqi Muhammad, SE, MSc, PhD dan Prof Nandang Sutrisno, SH, LLM, MHum, PhD. Pengukuhan dilaksanakan pada Rapat Terbuka Senat yang dipimpin Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD di Auditorium Prof Abdul Kahar Muzakkir Kampus UII, Selasa (30/1/2024).
Prof Rifqi Muhammad dikukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Akuntansi. Prof Rifqi Muhammad menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ‘Harmonisasi Standar Akuntansi Keuangan Syariah dalam
Pengembangan Sektor Keuangan Islam.’
Sedang Prof Nandang Sutrisno menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Internasional. Prof Nandang Sutrisno mengangkat judul pidato pengukuhan ‘Menegakkan Kedaulatan Permanen atas Sumber Daya Alam dalam Rezim Hukum World Trade Organization.’
Prof Rifqi Muhammad menjelaskan saat ini, perkembangan ekonomi Islam telah memberikan kontribusi bagi kemajuan ekonomi nasional maupun global. Nilai-nilai ekonomi Islam telah menjadi bagian dari pengembangan sektor riil dan sektor keuangan yang mengedepankan keadilan, kesejahteraan bersama, pertumbuhan, dan memberikan maslahah bagi masyarakat.
Salah satu sektor yang memiliki peran strategis dalam perkembangan ekonomi Islam adalah keuangan Islam. Sektor keuangan Islam sebagai penopang pertumbuhan sektor riil telah memberikan kontribusi dalam menyediakan fungsi intermediasi keuangan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang secara universal mampu mencerminkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin.
Menurut Rifqi, sektor keuangan Islam, baik komersial maupun sosial, memerlukan tata kelola organisasi (corporate governance) dan tata kelola keuangan yang mampu menyediakan informasi keuangan yang relevan dan andal dalam rangka pengambilan keputusan yang sesuai dengan karakter lembaga-lembaga keuangan Islam.
Selain itu, tambah Rifqi, aspek pelaporan keuangan menjadi aspek pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kegiatan operasional suatu entitas. Entitas keuangan Islam, tentunya memiiliki karakter yang berbeda dengan entitas keuangan konvensional dengan menghindari unsur riba, maisyir (spekulasi), gharar (ketidakjelasan transaksi), dan bathil.
Lebih dari itu, entitas keuangan Islam juga menjadi cerminan bagaimana Islam memiliki berbagai khasanah keilmuan yang mampu memberikan manfaat bagi kebaikan kehidupan. “Secara umum, pelaporan keuangan diatur dengan standar akuntansi yang disusun oleh dewan standar akuntansi dari suatu entitas profesional baik di tingkat nasional maupun global,” kata Rifqi.
Karena itu, tambah Rifqi, entitas-entitas yang muncul dalam perkembangan sektor keuangan Islam seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar modal syariah, dan lembaga-lembaga non komersial lain (organisasi pengelola zakat dan badan wakaf) memerlukan standar akuntansi syariah yang mampu menghasilkan laporan keuangan yang relevan dan bisa diandalkan untuk pengambilan keputusan serta mencerminkan karakter entitas keuangan Islam.
Salah satu organisasi nirlaba internasional yang memiliki komitmen untuk melakukan inisiasi dan upaya perumusan pedoman, standar, dan prinsip etika untuk memperkuat sektor keuangan Islam adalah AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions). “AAOIFI secara konsisten menyusun berbagai macam standar akuntansi, auditing, syariah, dan tata kelola bagi lembaga-lembaga keuangan Islam di level internasional,” katanya.
Sementara Prof Nandang Sutrisno mengatakan pidato pengukuhannya berdasarkan hasil penelitian singkat. Nandang mempertanyakan “Mungkinkah menegakkan Kedaulatan Permanen atas Sumber Daya Alam atau Permanent Sovereignty over Natural Resources (PSNR) dalam Rezim Hukum World Trade Organization (WTO)?”
Hasil penelitian singkatnya, kata Nandang, mengindikasikan PSNR telah diakui keberadaannya dalam interpretasi kasus-kasus sengketa perdagangan internasional yang terkait dengan SDA, meskipun WTO sendiri tidak mengatur secara khusus perdagangan internasional SDA. “Dari kasus-kasus yang saya teliti, Panel maupun Appellate Body dari WTO tidak atau setidaknya kurang berpihak pada penegakan PSNR untuk kepentingan nasional anggota-anggota WTO,” kata Nandang.
Menurut Nandang, hal ini bukan karena WTO menganut pandangan sempit dalam menginterpretasikan PSNR, tetapi semata-mata karena kebijakan-kebijakan perdagangan internasional yang diambil oleh negara-negara yang bersangkutan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar WTO. Hal ini tercermin dari kasus-kasus US – Tuna II, China – Raw Materials dan Indonesia – Raw Materials.
Salah satu prinsip WTO yang paling keras adalah larangan restriksi kuantitatif, yang maknanya ‘dilarang melarang’ baik ekspor maupun impor. Selain itu, kebijakan larangan ekspor atau impor tersebut tidak dijustifikasi oleh Pasal XX GATT 1994. “Dengan demikian sangat dimungkinkan suatu negara mengklaim penerapan prinsip PSNR, jika dan hanya jika tetap mentaati kewajiban internasional yang telah menjadi komitmennya sebagai anggota WTO,” katanya.
Karena itu, Nandang mengusulkan langkah ke depan agar Indonesia sebagai anggota WTO dapat membuat, melaksanakan dan menegakkan hukum nasional yang melindungi SDA tanpa melanggar ketentuan-ketentuan hukum WTO.
Pertama, Indonesia dapat memanfaatkan legal gap, yakni kelemahan WTO dalam pengaturan export control. Tidak ada pengaturan tentang tarif ekspor maksimal yang boleh dikenakan oleh anggota WTO terhadap ekspor komoditas atau produk terkait SDA. Karakteristik WTO yang sangat ketat dalam penafsiran hukum, sekaligus dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk membuat kebijakan tarif ekspor, daripada kebijakan non-tarif melalui larangan restriksi kuantitatif.
Kedua, pemerintah hendaknya melakukan harmonisasi peraturan dari segala sektor terkait SDA dengan ketentuan-ketentuan WTO. Ketiga, pemerintah hendaknya menumbuhkan semangat ‘nasionalisme’ kepada pelaku-pelaku industri dan perdagangan terkait SDA, sehingga pertimbangan-pertimbangan kepentingan nasional Indonesia lebih diarus-utamakan secara volunteer, daripada kepentingan-kepentingan bisnis sesaat.
“Pemerintah harus terus menerus meningkatkan kemampuan aparatnya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang cerdas, yang melindungi kepentingan nasional tanpa melanggar hukum internasional,” harap Nandang. (*)