YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengukuh dua profesor pada Rapat Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia du Auditorium Abdul Kahar Mudazakkir, Kampus Terpadu UII, Senin (4/3/2024). Mereka adalah Prof Dra Sri Wartini, SH, MHum, PhD, sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Prof Dr Ing Ir Ilya Fadjar Maharika, MA, IAI, Guru Besar Bidang Ilmu Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.
Prof Sri Wartini mengangkat pidato pengukuhan ‘Analisis Hukum Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim untuk Mencapai Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Berdasarkan Paris Agreement.’ Berbagai bencana terjadi akibat ulah tangan manusia. Kerusakan di daratan dan laut merupakan bukti keserakahan manusia dalam memenuhi keinginnanya.
Pembabangunan yang tidak berwawasan lingkungan yang dilakukan di berbagai negara telah menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pola pembangunan yang berpusat pada kepentingan manusia atau antropocentris telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan menyebabkan terjadinya pemanasan global (global warming) yang memicu terjadinya perubahan iklim.
Dampak negatif perubahan iklim terjadi di berbagai negara baik negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi negara berkembang mengalami dampak yang lebih serius dibandingkan negara maju, misalnya, Indonesia. “Perubahan iklim membawa kerentanan social -ekonomi baru ke dalam kehidupan dan mata pencaharian manusia, yang dirasakan dalam produksi pertanian, kesehatan manusia, akses terhadap air minum dan ancaman terhadap habitat masyarakat pesisir,” kata Sri Wartini.
Untuk mengatasi perubahan iklim memerlukan kolaborasi semua negara di dunia. Upaya bersama diharapkan dapat mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan melindungi planet ini untuk kepentingan generasi yang akan datang. “Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan antar generasi (inter generational equity) sebagaimana sudah dicantumkan dalam Stockholm Declaration dan Rio Declaration,” kata Sri Wartini.
Sementara Prof Ilya Fadjar Maharika mengangkat judul pidato ‘Arsitektur Antroposen Indonesia.’ Penggunaan diksi arsitektur telah berkembang luas dalam banyak konteks dan disiplin. Namun tampaknya ada kesepakatan bahwa ia selalu menggambarkan satu konsep utama yaitu adanya reka bentuk ide menjadi materialitas untuk tujuan tertentu. “Bagi masyarakat luas, kata itu dikaitkan dengan keindahan bangunan. Tidak salah, walau terlalu sempit sehingga meninabobokan kita terhadap adanya potensi masalah,” kata Ilya Fadjar Maharika.
Menurut Ilya, fakta global menunjukkan bangunan dan sektor konstruksi menyumbang 36% dari penggunaan energi final global dan 39% emisi karbon dioksida (CO2) terkait energi ketika pembangkit listrik dimasukkan. “Memang arus utama ilmu arsitektur saat ini adalah industri dan keindahan. Dampaknya adalah ia kehilangan peran diskursifnya untuk mendorong ragam masa depan,” katanya.
Ppidato pengukuhan, kata Ilya, ditujukan untuk melantangkan manifesto Arsitektur Antroposen dan kontekstualisasinya bagi Indonesia. Ini adalah ajakan untuk membicarakan secara serius baik di ranah paradigma atau cara pandang, praktik arsitektural dan konstruksi pada umumnya, maupun pendidikan arsitektur serta kerjasama antardisiplin.
“Manifesto ini juga merupakan undangan bidang dan ilmu lain; termasuk pula, bahkan barangkali yang terpenting: politik. Masa depan planet bumi yang menuju kerusakan tidak perlu diperdebatkan lagi karena fakta telah kita rasakan bersama. Tidak ada yang imun. Tidak ada jalan lain bagi kita selain menyatukan visi penyelamatan bumi, menggali seluruh daya pikir, rekayasa dan teknologi untuk kepentingan tersebut,” harap Ilya. (*)