YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Konflik Palestina-Israel belum menemui titik terang penyelesaiannya. Anadolu Agency, media berita Turki mengungkap, hingga saat ini jumlah korban tewas Palestina mencapai 24.100 orang per Januari 2024. Israel dengan dukungan Amerika juga dikabarkan akan menggencarkan serangan ke Palestina.
Kondisi ini diperparah dengan pernyataan Amerika dan Israel yang enggan melakukan gencatan senjata. Dapat dibayangkan setiap harinya akan ada ratusan korban jiwa berjatuhan di Gaza akibat tidak adanya dorongan untuk sekedar gencatan senjata, apalagi berdamai.
Guru Besar Bidang Hukum Internasional, Fakultas Hukum UGM, Prof Sigit Riyanto, SH, LLM, menilai Palestina sebagai negara berhak menentukan nasibnya sendiri dan tinggal di tanah airnya. Apalagi sudah ada pelanggaran terhadap norma jus cogens berupa genosida, pengusiran, pembantaian, baik sebelum atau sesudah Israel berdiri.
Menurutnya, pendudukan sebelum abad 20 bisa jadi menjadi cara untuk memperoleh suatu wilayah, dan itu legally justified. Namun saat itu hukum internasional eurosentris, setelah berdiri PBB maka proses dekolonisasi terjadi. “Maka yang namanya pendudukan tidak lagi menjadi cara yang diperbolehkan untuk menambah wilayah. Jadi pendudukan itu bersifat temporal, suatu saat harus dikembalikan,” kata Sigit, di kampus UGM, Kamis (14/3/2024).
Menurut Sigit, perkara di Mahkamah Internasional dalam memperjuangkan Tanah Palestina belum akan menemui titik terang jika PBB sebagai pemegang hak sengketa antar negara belum bertindak tegas. “Apalagi dengan penolakan upaya gencatan senjata, akan terus ada korban jiwa yang berjatuhan di tanah Palestina sendiri. Bantuan dari negara-negara lain, termasuk dari Indonesia akan sulit dilakukan,” jelasnya.
Sementara Dosen Hubungan Internasional UII, Hasbi Aswar, SIP, MA, PhD, mengatakan perselisihan antara Palestina dan Israel ini tidak disebabkan oleh pertikaian antar agama, yakni muslim dan yahudi. Sebab, Yahudi sejak lama menempati wilayah Gaza, namun ketika paham zionis masuk, dan pemerintah Inggris menjalin kepentingan dengan zionis, barulah perebutan wilayah terjadi.
“Hari ini yang kita lihat, mayoritas wilayah Palestina itu dikuasai oleh Israel. Sekarang itu cita-cita dua negara sudah menjadi ‘mitos’, karena yang terjadi di Palestina sekarang bukan two-state, melainkan one-state reality. Walaupun ada Hamas dan Fatah yang berkuasa di tepi barat, tapi yang mengontrol darat, laut, udara Palestina ini adalah Israel,” terang Hasbi.
Menurutnya, solusi pembagian wilayah secara adil dan merata di tanah Palestina sudah hampir mustahil untuk tercapai. Hal ini kemudian menimbulkan kondisi settled colonization atau penjajahan tetap selama lebih dari 75 tahun.
Ia mengapresiasi atas komitmen dan dukungan pemerintah Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina yang senantiasa disalurkan dengan berbagai cara. Tidak hanya pemberian bantuan pada masyarakat Palestina, namun juga upaya secara hukum pada Mahkamah Internasional. Badan hukum milik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau The International Court of Justice (ICJ) memiliki setidaknya dua tugas, yakni memberikan fatwa hukum pada anggota PBB dan menyelesaikan sengketa antar negara. Pada salah satu ketentuan, untuk bisa membawa sengketa negara ke ranah ICJ diperlukan persetujuan antara kedua belah pihak. (*)