YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Kasus korupsi di PT Timah menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah dan penegakan hukum. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) ini oleh pemerintah masih lemah dan penegakan hukum yang cenderung pro pelaku bisnis.
Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yuris Rezha Kurniawan mengemukakan hal tersebut kepada wartawan di Yogyakarta, Selasa (2/4/2024). Pernyataan tersebut dikemukakan untuk menanggapi dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang kini ditangani oleh Kejaksaan Agung RI.
Menurut Yuris, kasus dugaan korupsi PT Timah yang tengah ditangani Kejaksaan Agung telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara. Hal ini disebabkan pembelian pasokan timah yang tidak sesuai prosedur dengan harga di atas standar. “Jika merunut duduk perkara yang disampaikan Kejaksaan Agung, maka ada satu isu yang juga perlu disorot yaitu mengenai persekongkolan dengan melibatkan pebisnis tambang illegal,” kata Yuris.
Yuris menambahkan bila dugaan kasus korupsi di PT Timah ini akhirnya terbukti, maka kejadian ini merupakan bukti adanya persekongkolan pemerintah melalui perusahaan negara dengan pengusaha korup. Pasalnya, perusahaan tambang ilegal seharusnya ditindak secara hukum malah justru sebaliknya dirangkul dan difasilitasi sedemikian rupa.
Bahkan, kata Yuris, dijadikan rekanan untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam dengan cara melanggar hukum. “Anehnya, hal ini juga luput dari pengawasan pemerintah maupun aparat penegak hukum,” tegas Yuris.
Secara umum, kata Yuris, ada beberapa modus yang sering terjadi pada kasus korupsi sumber daya alam.Di antaranya, suap untuk meloloskan pemberian izin yang tidak layak, hingga kekurangan penerimaan negara yang disetor akibat manipulasi data produksi sumber daya alam.
Dugaan kasus korupsi PT. Timah ini di mata publik, kata Yuris, mempertontonkan bagaimana praktik tambang ilegal yang seharusnya menjadi bagian dari pengawasan pemerintah dan penegakan hukum dari aparat justru mendapat ‘karpet merah’ untuk menjalankan bisnisnya.“Faktor sulitnya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam di antaranya, lemahnya sistem pengawasan pemerintah hingga penegakan hukum yang cenderung pro bisnis,” tandas Yuris.
Hal yang menimbulkan pertanyaan bagi Yuris, bagaimana mungkin jika usaha tambang ilegal, yang tentu jelas sudah melanggar hukum malah difasilitasi sebagai rekanan?
Menurutnya, Kejaksaan Agung tentu bisa menelusuri lebih lanjut lemahnya pengawasan hingga kemungkinan adanya pembiaran terhadap operasi tambang ilegal ini. Apalagi misalnya praktik seperti ini terjadi selama bertahun-tahun. “Apabila terdapat bukti adanya pembiaran, apalagi misalnya sampai dapat dibuktikan adanya suap untuk menutup mata terhadap praktik ilegal tersebut maka bukan tidak mungkin akan ada aktor lain yang bisa dijerat dari pengembangan perkara kasus ini,” katanya.
Yuris berpendapat, kasus korupsi di tubuh PT Timah ini untuk kesekian kalinya terjadi di sektor pertambangan. Karena itu, pemerintah harus punya komitmen kuat untuk mengupayakan berbagai cara pencegahannya.
Sebab, korupsi sumber daya alam tidak akan selesai hanya dengan mengembangkan sistem untuk kemudahaan berbisnis. “Tapi juga perlu diperketat perihal pengawasan, pengelolaan konflik kepentingan yang berkelindan antara pejabat atau menteri dengan perusahaan di sektor sumber daya alam, serta penegakan hukum yang independen dari pengaruh bisnis,” harapnya. (*)