YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengungkapkan ada empat jenis negara yang dipilahkan berdasarkan efek bisu (mum effect) dan efek tuli (deaf effect). Keempat jenis negara demokrasi adalah Negara Tertutup (efek bisu tinggi dan efek tuli rendah), Negara Gagal (efek bisu tinggi dan efek tuli tinggi); Negara Sehat (efek bisu rendah dan efek tuli rendah) dan Negara Burung Onta (efek bisu rendah dan efek tuli tinggi).
Rektor UII mengemukakan hal tersebut pada Diskusi Panel dan Penandatanganan Nota Kesepahaman antara UII dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI di Kampus UII Yogyakarta, Jumat (26/4/2024). Penandatanganan kerjasama dilakukan Rektor UII dan Ketua Komnas HAM, Dr Atnike Nova Sigiro, MSc.
Sedang diskusi menghadirkan Dr Herlambang P Wiratraman, SH, MA, dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA); Dr Abdul Haris Semendawai, SH, LLM, dari Komnas HAM. Kemudian Prof Dr rer soc Masduki, SAg, MSi dari Universitas Islam Indonesia & Forum Cik di Tiro; Dr Suparman Marzuki, SH, MSi, dosen Fakultas Hukum UII dan PYBW UII; serta Fatia Maulidiyanti dari International Federation for Human Rights (FIDH). Moderator Sekretaris Eksekutif UII, Hangga Fathana, SIP, B Int St, MA.
Lebih lanjut Fathul Wahid menjelaskan kategori negara pertama yaitu negara dengan efek bisu tinggi dan efek tuli rendah yang disebut sebagai Negara Tertutup. Yaitu merupakan negara dengan apatisme tinggi (warga enggan berpartisipas, meski pemerintah siap mendengar). Katagori kedua, efek bisu tinggi dan efek tuli juga tinggi yang desebut sebagai Negara Gagal. Yaitu negara tanpa demokrasi atau negara autoritarianisme (warga negara takut berbicara/dibungkam, pemerintah juga enggan mendengar).
Sedang katagori ketiga, kata Fathul Wahid, Negara Sehat yaitu negara dengan efek bisu dan tuli rendah, yaitu negara dengan demokrasi tulen (deliberatif, partisipatif), warga partisipatif, pemerintah responsif. Katagori keempat, negara dengan efek bisu rendan tetapi efek tulinya tinggi yaitu Negara Burung Onta. Yaitu, negara dengan demokrasi autokratik (ketika pemerintah mengelola negara sesukanya, suara warga
tidak didengar).
“Indonesia kira-kira masuk yang mana? Silakan dipikirkan masing-masing,” tanya Fathul Wahid.
Sementara Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan syarat mutlak untuk pengembangan diri individu/seseorang/warga negara. Ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat di manapun dan merupakan fondasi yang penting bagi masyarakat yang demokratis.
Hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan derogable rights. Karena itu, dalam pelaksanaannya dapat dilakukan pengaturan pembatasan dalam undang-undang. Pengaturan ini diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain; dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan masyarakat atau moral masyarakat.
Selama kurun 2021-2023, Komnas HAM telah menerima pengaduan terkait hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat sebanyak 48 pengaduan. Detail aduan ini paling banyak tentang kebijakan menyampaikan pendapat di muka umum sebanyak 14 aduan; ancaman /intimidasi dalam mimbar ilmiah 11 aduan. Kemudian penangkapan dan penahanan masa dalam orasi/menyampaikan pendapat di muka umum 9 aduan, kriminalisasi terkait UU ITE 6 aduan.
“Salah satu yang perlu dicermati terkait ancaman/intimidasi dalam mimbar ilmiah dan kriminalisasi terkait UU ITE. Selain itu ancaman terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat sering kali berkaitan dengan situasi politik yang sedang berlangsung termasuk salah satunya Pemilu atau Pilkada,” kata Atnike. (*)