YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Generasi milenial dan generasi Z merupakan kelompok yang rentan terjerat pinjaman online (Pinjol) ilegal dan investasi bodong. Generasi ini merupakan kelompok yang rentan secara finansial dengan gaya hidup yang lebih banyak menghabiskan uang untuk kesenangan dibanding menabung maupun berinvestasi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi & Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dr Friderica Widyasari Dewi mengemukakan hal itu melalui video tapping yang disampaikan dalam acara Bisnis Indonesia Goes to Campus 2024 di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Kamis (6/6/2024).
“Banyak generasi muda yang terjebak pada pinjol karena mengambil hutang untuk kebutuhan konsumtif dan keperluan yang tidak bijaksana,” kata alumnus FEB UGM ini
Kiki, sapaan akrab Friderica Widyasari Dewi, mengatakan generasi milenial dan gen Z menghadapi persoalan keuangan termasuk investasi bodong akibat prinsip You Only Live Once (YOLO) juga Fear Of Missing Out (FOMO). Gaya hidup FOMO menyebabkan seseorang merasa tertinggal apabila tidak mengikuti tren.
Sedang gaya hidup YOLO sering dikaitkan dengan cara menikmati hidup yang maksimal dan bebas. Kedua prinsip tersebut membawa generasi muda pada keputusan yang buruk, salah satunya tidak menyiapkan dana darurat.
Kerentanan generasi muda tersebut dikatakan Kiki juga dipicu kebiasaan mereka yang sering membagikan informasi pribadi melalui media sosial. Perilaku tersebut sangat berbahaya namun mereka tidak menyadarinya. Misalnya, mengunggah KTP, alamat rumah, dan informasi pribadi lainnya yang dapat dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, Kiki menyampaikan sikap FOMO juga membawa generasi muda terjebak pada investasi bodong. Mereka tidak memiliki pemahaman keuangan dan investasi yang memadai, sehingga kelompok ini justru banyak menjadi korban terhadap iming-iming yang menggiurkan. Mereka kerap meniru apa yang dilakukan oleh influencer maupun tokoh idolanya, termasuk saran terkait keuangan.
Ketua Umum Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (KAFEGAMA) ini pun mengimbau mahasiswa agar memahami aspek perencanaan keuangan/ financial planning. Sebab, mahasiswa sebagai bagian generasi penerus yang akan membangun Indonesia. Dengan jumlah Generasi Z dan milenial yang mencapai lebih dari setengah penduduk Indonesia, tentu saja kelompok ini merupakan critical economy players yang harus dibekali tentang pemahaman keuangan yang memadai.
Sementara Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK pada 2022 mencatat generasi muda di Indonesia memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan yang rendah. Tingkat literasi keuangan penduduk berusia 15-17 tahun berada di angka 43 persen sementara tingkat inklusi keuangannya di 69 persen. Angka tersebut jauh di bawah tingkat literasi dan inklusi keuangan nasional yang mencapai 49,7 persen dan 85 persen.
Oleh sebab itu, Kiki menekankan pentingnya peningkatan literasi keuangan dan inklusi keuangan bagi generasi muda. Langkah tersebut diharapkan dapat menjauhkan mereka dari jeratan investasi bodong dan Pinjol ilegal.
Kolaborasi Multipihak
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi DIY, Parjiman menegaskan perlunya kolaborasi dari berbagai pihak untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan yang lebih baik di DIY. Kolaborasi perlu dilakukan antara pemerintah, pelaku industri jasa keuangan, media, serta perguruan tinggi.
Upaya tersebut dibutuhkan untuk mempersempit kesenjangan antara literasi keuangan dan inklusi keuangan. Sebab, inklusi keuangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan literasi berarti ada lebih banyak masyarakat yang memanfaatkan produk jasa dan keuangan tanpa mengetahui dengan benar risikonya.
Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 mencatat indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia ada di angka 49,68%. Artinya, baru separuh masyarakat yang telah mendapatkan edukasi dengan baik terhadap produk dan jasa keuangan. “Setiap 100 orang baru 50% atau separuhnya yang telah teredukasi dengan baik terkait produk dan jasa keuangan. Sementara lima puluhnya masih gelap,” kata Parjiman.
Menurut Parjiman, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia ditingkatkan, termasuk di DIY. Indeks literasi DIY mencapai 54,55%, angka tersebut lebih tinggi dibanding nasional. “Inklusinya ini perlu kita tingkatkan karena sedikit ada di bawah nasional yakni di angka 82,68%,” kata Parjiman.
Karenanya Parjiman mengapresiasi kegiatan BGTC 2024 yang dilaksanakan di FEB UGM ini. Ia menilai kegiatan ini merupakan bentuk kolaborasi yang baik dalam upaya meningkatkan edukasi dan literasi masyarakat khususnya tentang produk dan jasa keuangan.
Sementara Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Alumni FEB UGM, Gumilang Aryo Sahadewo, PhD, menyambut baik pelaksanaan BGTC 2024. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan softskill mahasiswa khususnya terkait keuangan dan investasi.
“Literasi keuangan dan literasi investasi merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki SDM Indonesia. Harapannya melalui kegiatan ini para mahasiswa bisa mendapatkan pengetahuan dan softskill terkait literasi keuangan dan literasi investasi,” kata Gumilang. (*)