YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Hasanuddin Arafah, mahasiswa Program Studi Hukum Islam, Program Doktor, Jurusan Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menyarankan agar pemerintah meningkatkan kapasitas pengobat tradisional Tibbunnabawi. Sehingga para pengobat atau pelayanan kesehatan tradisional Tibbunnabawi, khususnya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, bisa mendapat legalitas dan meningkat kesejahteraannya.
Hasanuddin Arafah mengemukakan hal tersebut berdasarkan hasil penelitian desertasi berjudul ‘Perlindungan Hukum atas Pelayanan Kesehatan Tradisional Syar’i Tibbunnabawi di Kabupaten Berau Perspektif Maqasid Syariah.’ Desertasi tersebut berhasil dipertahankannya di depan Dewan Penguji dan dinyatakan lulus dengan predikat Cumlaude, Jumat (23/8/2024).
Dewan Penguji terdiri Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSi, PhD (Ketua); Dr Anisah Budiwati SHI, MSI (Sekretaris). Promotor Prof Dr Drs Makhrus Munajat SH, MHum (UIN Sunan Kalijaga) dan Co Promotor Prof Dr Drs Tamyiz Mukharrom MA (UII). Sedang penguji terdiri Prof Dr Budi Agus Riswandi SH, MHum (Fakultas Hukum (FH) UII), Dr Drs Yusdani MAg (FIAI UII) dan Dr Rimawati SH, MHum (FH UGM).
Lebih lanjut Hasanuddin Arafah mengatakan ada peraturan yang dirasa menghambat praktek pengobat tradisional Tibbunnabawi. Salah satunya, Peraturan Presiden (PP) Tahun 2014 pasal 31 tentang pelayanan kesehatan tradisional. Pada peraturan tersebut yang berhak melakukan pengobatan tradisonal dengan melukai tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter atau orang yang memiliki izin resmi.
Pengobatan tradisional, bekam harus ditangani orang yang memiliki sertifikat keahlian, atau tenaga medis yang setara dengan tenaga kerja kesehatan (Nakes) setara Diploma 3 (D3). “Peraturan ini menjadi kendala bagi pengobat tradisional sehingga perlu ada peraturan hukum yang bisa mendukungnya,” kata Hasanuddin Arafah.
Tibbunnabawi, kata Hasanuddin Arafah, adalah segala sesuatu yang disebutkan Alquran dan As Sunnah yang sahih yang berkaitan dengan kedokteran, baik berupa langkah preventif (pencegahan penyakit) atau kuratif (pengobatan). Sedang ragam obat dan pelayanan kesehatan tradisional syar’i Tibbunnabawi di antaranya, madu, bekam, kay (menyundutkan bara besi ke kulit hingga hangus), air dingin, air zam-zam, habbah sauda’, kurma, air kencing dan susu unta, minyak zaitun, ruqyah syariah, dan lain-lain.
Saat ini, tambah Hasanuddin Arafah, di Kabupaten Berau ada 722 orang pengobat tradisional Tibbunnabawi, termasuk dirinya. Namun hanya 36 orang saja yang memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT).
“Minimnya pengobat tradisional yang memiliki STPT ini karena untuk mendapatkan legalitas cukup sulit. Meskipun tidak memiliki legalitas, mereka tetap praktek,” kata Hasanuddin Arafah yang juga berprofesi sebagai pengobat tradisional, dan dosen ini.
Karena itu, agar pengobat tradisional dapat memiliki legalitas, Hasanuddin Arafah memiliki tiga saran. Pertama, Dinas Kesehatan Kabupaten Berau perlu meningkatkan pelayanan dan pembinaan pelayanan kesehatan tradisional syar’i dengan menciptakan program yang memberdayakan dan menyetarakan.
Kedua, kata Hasanuddin, tenaga kerja kesehatan tradisional hendaknya memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT). Hal ini untuk mendapatkan legalitas dalam menjalankan pelayanan pengobatan dan mendirikan asosiasi pelayanan kesehatan tradisonal syar’i. Ketiga, mengharapkan masyarakat bijak dalam memilih obat tradisional. (*)