Rektor UII : Kekayaan dan Ketenaran Bukan Mutlak Jadi Sumber Kebahagiaan

Rektor UII, Fathul Wahid mewisuda wisudawan di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII, Sabtu (30/11/2024). (foto : Humas UII)
Rektor UII, Fathul Wahid mewisuda wisudawan di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII, Sabtu (30/11/2024). (foto : Humas UII)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Generasi milenial menganggap kebahagiaan sebagai ukuran kehidupan yang baik dapat dicapai melalui kekayaan dan ketenaran. Bahkan dalam survei terhadap kaum milenial, lebih dari 80% menyatakan keinginan untuk menjadi kaya, 50% ingin terkenal, dan 50% berharap memiliki karier yang cemerlang.

Penelitian menunjukkan bahwa meskipun negara-negara Barat semakin makmur, namun tingkat kebahagiaan masyarakat justru menurun. Kebahagiaan individu tampaknya mencapai puncaknya saat pendapatan rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan anak. Di atas jumlah tersebut, peningkatan pendapatan hanya berdampak kecil pada kebahagiaan.

Bacaan Lainnya

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid mengungkapkan hal tersebut pada Wisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Periode II Tahun Akademik 2024/2025, di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII, Sabtu dan Ahad (30/11 – 1/12/2024). Periode wisuda kali ini, UII meluluskan 1.099 orang yang terdiri lima doktor, 116 magister, 934 sarjana, 41 sarjana terapan dan tiga ahli madia.

“Mereka semua bagai anak panah melesat yang siap berkhidmat di tengah-tengah masyarakat. Sampai hari ini, UII sudah meluluskan lebih dari 129.937 alumni yang sudah menunaikan beragam peran, baik di dalam negeri maupun mancanegara,” kata Fathul Wahid.

Lebih lanjut Fathul Wahid menjelaskan salah satu alasan banyak orang salah mengira uang merupakan kunci kebahagiaan, karena definisi “kehidupan yang baik” sering ditentukan oleh masyarakat, bukan oleh diri sendiri. Revolusi digital, media sosial, standar yang tidak realistis, dan iklan yang mendominasi ruang publik menciptakan ilusi bahwa konsumsi adalah sumber kebahagiaan.

“Kita cenderung membandingkan kehidupan sehari-hari kita dengan gambaran kehidupan orang lain yang telah dikurasi di media sosial. Generasi muda, yang lebih terhubung dengan dunia digital dibanding generasi sebelumnya, menjadi semakin rentan terhadap siklus perbandingan ini. Kita cenderung membandingkan bagian dalam diri kita dengan bagian luar orang lain,” kata Fathul.

Kata Fathul, penelitian Tim Universitas Harvard yang dibukukan The Good Life: Lessons From the World’s Longest Scientific Study of Happiness karya Robert Waldinger dan Marc Schulz (2023), menemukan satu kesimpulan bahwa hubungan yang kuat dan positif sangat penting untuk menghadirkan kebahagiaan dan menjaga kesehatan. “Temuan ini sangat relevan bagi kita semua, terutama saudara yang akan segera melangkah ke dunia baru yang penuh tantangan,” katanya.

Menurut Fathul, ada beberapa pelajaran dan refleksi dapat diambil untuk menciptakan kebahagiaan dalam kehidupan. Pertama, perlu melakukan investasi untuk membangun hubungan. Hidup yang bahagia dan sehat berakar pada hubungan yang bermakna. Penelitian ini menemukan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan yang dekat, saling mendukung, dan penuh kasih dengan keluarga, teman, atau komunitas, cenderung lebih bahagia dan hidup lebih lama. Sebaliknya, mereka yang merasa kesepian atau terisolasi lebih rentan terhadap penyakit fisik dan mental.

Kata Fathul, ketika wisudawan melangkah ke dunia kerja atau melanjutkan pendidikan, godaan untuk terjebak dalam kesibukan dan ambisi pribadi sangat besar. “Saudara mungkin merasa bahwa waktu untuk keluarga atau teman adalah hal yang bisa ditunda. Tetapi ingatlah, kebahagiaan tidak hanya berasal dari pencapaian profesional, tetapi dari momen sederhana—berbagi tawa, dukungan, atau bahkan kehadiran bersama orang-orang tercinta,” kata Fathul.

Menurut Fathul, memiliki jaringan sosial yang lebih luas dan lebih aktif secara sosial berkontribusi pada perlambatan munculnya penyakit dan penurunan fungsi kognitif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang menikah cenderung memiliki harapan hidup lebih panjang—sekitar 5-12 tahun lebih lama untuk perempuan dan 7-17 tahun lebih lama untuk laki-laki.

Penelitian juga menunjukkan bahwa kesepian memiliki dampak negatif terhadap kesehatan yang setara dengan merokok setengah bungkus sehari, tekanan darah tinggi, atau obesitas. Kesepian dapat mempercepat penurunan fungsi kognitif dan fisik, menyebabkan hipertensi akibat stres, gangguan tidur, peningkatan respons kardiovaskular, penurunan imunitas, serta memicu peradangan kronis.

Kedua, kata Fathul, wisudawan perlu mengupayakan keseimbangan dalam hidup. Hidup yang penuh kebahagiaan adalah hidup yang seimbang. Studi ini menunjukkan bahwa mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, kehidupan pribadi, dan kesehatan mental lebih cenderung bahagia dalam jangka panjang.

“Di dunia yang semakin kompetitif ini, Saudara akan menghadapi tekanan untuk terus bergerak maju—mencapai lebih banyak, bekerja lebih keras, dan membuktikan diri. Namun, penting untuk diingat bahwa keseimbangan adalah kunci,” katanya.

Jangan pernah mengabaikan kesehatan Saudara, baik fisik maupun emosional. Kadang, kita perlu meluangkan waktu untuk diri sendiri, lakukan hal-hal yang dapat kita nikmati, dan jangan ragu untuk berhenti sejenak untuk merenung dan mengisi ulang energi. Tentu, semuanya perlu dilakukan dalam kadar terukur.

Ketiga, tambah Fathul, wisudawan perlu memikirkan ulang makna kesuksesan yang sejati. Dalam perjalanan hidup, seseorang sering diajarkan untuk mengejar kesuksesan material dan prestasi akademik. Namun, beragam penelitian mengingatkan kita bahwa kesuksesan sejati adalah tentang memberi makna pada hidup kita—bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.

Pendidikan dan keterampilan yang wisudawan miliki, memberikan kekuatan untuk menciptakan perubahan positif di lingkungan sekitar. Jadilah individu yang tidak hanya memikirkan “apa yang bisa saya capai,” tetapi juga bertanya, “apa yang bisa saya berikan kepada orang lain?” Ini adalah esensi dari hidup yang bermakna. “Ajaran Islam memberikan arahan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain,” katanya.

Fathul mengingatkan tidak seorang pun bahagia sepanjang waktu. Sebab kehidupan tidak pernah kalis dari masalah dan tantangan. “Pelajaran yang kita dapat dalam menyelesaikan masalah dan melewati tantangan akan memperkaya referensi kita untuk menatap masa depan dengan lebih baik. Kebahagian mempunyai orientasi waktu ke depan,” ujarnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *