YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Serikat Pekerja Fisipol Universitas Gadjah Mada (SPF UGM), Rabu (12/2/2025), menggelar unjukrasa di Gedung Pusat UGM. SPF UGM ini terdiri Dosen Aparatur Sipil Negara (ASN), Dosen Tetap Non-ASN, Tenaga Kependidikan, maupun pekerja kampus yang berstatus kontrak dan honorer. Mereka menuntut pembayaran tunjangan kinerja (Tukin) tahun 2020-2024.
Wakil Ketua SPF UGM, Suci Lestari mengatakan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) No 5 Tahun 2014 pasal 79 dan 80 mengamanatkan pembayaran tunjangan kinerja (Tukin) untuk ASN, termasuk dosen. Aturan teknis Permendikbud No 49/2020 dan Kepmen 447/P2024. Tapi hak Tukin Dosen ASN tidak kunjung ditunaikan. Pendidikan adalah amanat Konstitusi dan kunci kuatnya SDM negeri ini. Dosen ASN pun telah bekerja dengan profesionalisme dan dedikasi tinggi untuk mencerdaskan anak bangsa. Mereka memiliki hak untuk sejahtera.
Kebijakan tunjangan kinerja (Tukin) tidak diberikan kepada dosen di ASN Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Hal ini mencerminkan ketidakadilan bagi tenaga pendidik. Saat ini, hanya dosen ASN di satuan kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU) non-remunerasi yang mendapatkan Tukin, sementara dosen PTNBH justru dikecualikan dengan alasan bahwa kampus PTNBH mampu membiayai Tukin dosen.
Menurut rilis SPF UGM yang diterima wartawan, kebijakan tersebut bermasalah, karena:
- Diskriminatif terhadap dosen PTNBH.
Dosen PTNBH tetap memiliki kewajiban yang sama dalam menjalankan Tri Dharma
Perguruan Tinggi, namun tidak mendapatkan hak yang setara dengan rekan-rekan
mereka di Satker dan BLU. Meskipun Dosen PTNBH menerima IBK (Insentif Berbasis
Kinerja), tiap PTNBH tidak memiliki kemampuan finansial yang sama untuk membayar
remunerasi dosennya, dan menghasilkan ketimpangan kesejahteraan antar-kampus.
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin hak kesejahteraan seluruh tenaga
pendidik tanpa diskriminasi. - Kebijakan ini bersifat memecah belah.
Adanya kategorisasi dosen remunerasi dan dosen non-remunerasi menjadi salah satu faktor yang membuat para dosen dan civitas akademika yang terdampak oleh kategorisasi ini sulit untuk berempati satu dengan yang lain, dan karenanya juga semakin sulit untuk bersolidaritas.
Upaya-upaya memecah belah ini akan terus kami lawan dengan bentuk memberikan solidaritas kami kepada dosen-dosen non-remunerasi yang tengah menuntut haknya. - Pengalihan tanggung jawab pemerintah.
Pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan dosen, tetapi justru melepaskan tanggung jawabnya dengan membebankan pembayaran Tukin kepada kampus PTNBH. Akibatnya, kampus harus mencari cara untuk menutupi kebutuhan remunerasi dosen, termasuk kenaikan UKT, dan menghasilkan tingginya biaya kuliah di PTN. - Memperlihatkan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah.
Di satu sisi, pemerintah menuntut peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing
global, tetapi di sisi lain tidak memberikan dukungan finansial yang adil bagi dosen di
PTNBH. Ketimpangan ini semakin memperburuk kondisi akademisi yang terus berjuang
di tengah berbagai tantangan struktural.
Dalam rilis tersebut menjelaskan Serikat Pekerja Fisipol UGM (SPF UGM) yang terdiri dari berbagai elemen pekerja kampus seperti Dosen ASN, Dosen Tetap Non-ASN, Tenaga Kependidikan, maupun pekerja kampus yang berstatus kontrak dan honorer menyerukan civitas akademika untuk bersatu memperjuangkan kebijakan yang lebih adil. Oleh karena itu, Serikat Pekerja FISIPOL UGM:
- Menuntut pencarian Tukin untuk semua dosen ASN tanpa diskriminasi, termasuk
dosen PTNBH.
Kami mendesak Kemdiktisaintek mencairkan Tukin kepada seluruh dosen ASN Kemdiktisaintek tanpa pengecualian kepada kelompok manapun. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Perpres No. 136 Tahun 2018, Permendikbud No. 49 Tahun 2020, dan
Kepmendikbudristek 447/P/2024. Pencairan Tukin bagi seluruh dosen ASN
Kemdiktisaintek merupakan langkah konkret sebagai wujud penghormatan terhadap
prinsip kesetaraan dan keadilan bagi seluruh ASN. - Menuntut pendidikan tinggi yang bebas dari komersialisasi.
Kami mendesak Kemendiktisaintek menerbitkan aturan yang menjamin akses
masyarakat atas pendidikan tinggi dan pemenuhan hak pekerja di sektor tersebut
sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia. Perguruan tinggi harus menjadi ruang yang terjangkau dan
membebaskan, bukan menjadi ladang eksploitasi bagi tenaga pendidik atau semakin
mahal bagi mahasiswa. - Mendorong solidaritas antara dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa untuk
kampus yang adil dan inklusif.
Kami mendorong menggalang solidaritas segenap civitas akademika dari berbagai
institusi pendidikan di Indonesia dan berbagai jejaring organisasi masyarakat sipil lain,
untuk terus melakukan aksi solidaritas bersama dan berkelanjutan dalam menuntut
pencarian Tukin. - Menolak penyalahgunaan narasi pengabdian.
Kami menuntut pemerintah dan para pejabatnya untuk membahas isu ini dalam
kerangka republik dan kewarganegaraan, bukan feodalisme yang disamarkan. Ketika
dosen menuntut haknya atas Tukin, salah satu pejabat kementerian justru merespons
dengan “narasi pengabdian”— seolah-olah meminta hak adalah bentuk ketidaksetiaan.
Ini bentuk penghayatan yang kurang mendalam terhadap nilai-nilai republik yang
ditegaskan dalam UUD 1945. Amanat konstitusi jelas: dosen berperan mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan dalam konstitusi yang sama, hak dosen sebagai warga negara
untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan juga
dijamin.
Dosen memang mengabdi, tetapi mengabdi kepada republik, bukan kepada
pejabat yang merasa dirinya “nDoro”. Narasi pengabdian yang digunakan untuk
menutupi ketidakadilan ini harus dilawan! Republik bukan kerajaan, dan pejabat bukan
raja yang bisa semena-mena terhadap warganya. Dengan ini, kami menuntut kepada
negara, pemerintah, dan para pejabatnya: “Kembalikan Republik Kami!”
Hak kesejahteraan kami adalah bagian tak terpisahkan dari martabat profesi kami. Ketidakadilan ini mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam menghargai kontribusi strategis dosen ASN Kemdiktisaintek terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Kami menuntut agar pemerintah segera menindaklanjuti persoalan ini dengan langkah konkret sebagai wujud penghormatan terhadap prinsip kesetaraan dan keadilan bagi seluruh ASN. (*)