UII Desak Pemerintah Buka Ruang Demokrasi Lebih Luas

Rektor UII yang didampingi Wakil Rektor, Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa saat membacakan Pernyataan Sikap UII. (foto : heri purwata)
Rektor UII yang didampingi Wakil Rektor, Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa saat membacakan Pernyataan Sikap UII. (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) mendesak pemerintah membuka ruang demokrasi yang lebih luas. Menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta melindungi aktivis, seniman, akademisi, dan jurnalis dari intimidasi dan ancaman kriminalisasi.

Itulah salah satu pernyataan sikap Universitas Islam Indonesia (UII) merespons perkembangan mutakhir praktik berbangsa dan bernegara. Pernyataan Sikap tersebut dibacakan Rektor UII, Fathul Wahid yang didampingi Wakil Rektor, dosen, staf kependidikan, dan mahasiswa di Kampus Terpadu UII, Kamis (6/3/2025).

Bacaan Lainnya

Pembacaan Pernyataan Sikap ini bersamaan dengan Pembacaan Puisi UIISorenyastra #6 yang terkumpul sebanyak 97 puisi. Pembacaan Puisi UIISorenyastra #6 mengangkat tema ‘Lawan Ketidakadilan.’

Dalam pernyataan sikap, Rektor UII mengatakan tanda-tanda kemunduran demokrasi di Indonesia terus bermunculan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin terancam dengan meningkatnya kasus intimidasi, ancaman kriminalisasi, dan pembungkaman terhadap aktivis, seniman, akademisi, serta jurnalis. Beberapa kasus menunjukkan penggunaan pasal-pasal karet untuk menekan suara-suara kritis dan menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat sipil yang seharusnya dilindungi hak-haknya.

Di sisi lain, kata Fathul Wahid, publik juga dihadapkan pada kebijakan kebijakan pemerintah yang tidak jarang terkesan tergesa gesa, tidak transparan, dan minim partisipasi publik. Kebijakan yang tidak berbasis data dan pendekatan ilmiah kerap kali justru memperparah permasalahan, alih alih memberikan solusi. Hal ini diperburuk dengan maraknya kasus korupsi yang tidak ditangani secara tegas, serta narasi narasi yang cenderung mengaburkan fakta dan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan terbuka.

Upaya efisiensi yang dicanangkan pemerintah juga tidak selalu berjalan sesuai harapan. Di beberapa sektor, efisiensi justru berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik dan program sosial yang menjadi tumpuan masyarakat kecil, termasuk sektor pendidikan. Selain itu, gaya hidup dan sikap sebagian pejabat negara yang kurang menunjukkan empati terhadap kondisi rakyat, memperlebar jarak antara pemerintah dan masyarakat.

Dalam konteks ini, harap Fathul Wahid, masyarakat sipil harus tetap berperan aktif sebagai kontrol sosial. Ketidakpedulian dan apatisme hanya akan memberikan ruang lebih luas bagi penyimpangan kekuasaan. Berangkat dari kesadaran tersebut, kami, keluarga besar Universitas Islam Indonesia: 

  1. Mendesak pemerintah untuk membuka ruang demokrasi yang lebih luas dengan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta melindungi aktivis, seniman, akademisi, dan jurnalis dari intimidasi dan ancaman knminalisasi. 
  2. Menuntut pemerintah untuk lebih sensitif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada data yang valid dan pendekatan ilmiah untuk menjamin akurasi, relevansi, dan tepat sasaran. 
  3. Meminta pemerintah untuk serius dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan memastikan penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tidak pandang bulu, di samping juga memperkuat peran lembaga antikorupsi, meningkatkan pengawasan anggaran, serta berhenti membuat kesan mengembangkan narasi yang menutupi atau mengaburkan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. 
  4. Menyeru pemerintah untuk menjamin bahwa efisiensi harus berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik dan program sosial yang berdampak langsung pada rakyat. 
  5. Mengingatkan pejabat negara untuk menjadi teladan dengan menjaga tutur kata, sikap, tindakan, dan gaya hidup yang tuna empati untuk mengedukasi publik dan sekaligus dalam rangka membangun kepercayaan rakyat. 
  6. Mengajak masyarakat sipil dan elemen bangsa lainnya untuk tidak apatis dengan terus berperan aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah dan mengkritisi secara konstruktif demi menciptakan pemerintah yang lebih responsif, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat, serta mewujudkan demokrasi yang sehat. 

“Pernyataan sikap ini digerakkan oleh hati nurani kami dan kesadaran anak bangsa yang melihat praktik berbangsa dan bernegara yang semakin jauh dari nilai-nilai keadilan. Semoga kemuliaan Ramadan dapat menjadi momentum untuk perbaikan diri bersama,” tandas Fathul Wahid. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *