YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Membangun rumah tahan gempa sudah semakin terjangkau menyusul adanya inovasi melalui konsep optimalisasi BMW (Biaya, Mutu, dan Waktu). Inovasi meliputi desain, struktur bangunan, material, metode, peralatan dan pendanaan.
Bahkan saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengembangkan fitur ACeBS pada aplikasi inaRISK Personal. ACeBS (Asesmen Cepat Bangunan Sederhana) adalah fitur pada inaRISK Personal yang dapat digunakan secara mandiri untuk mengetahui aspek-aspek kerentanan rumah tinggal sederhana (satu lantai) terhadap ancaman gempa bumi.
Hal tersebut diungkapkan Prof Ir Sarwidi, MSCE, PhD,. A-Utama, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) saat konferensi pers Kontribusi UII pada 15 tahun Gempa Yogyakarta melalui Daring dan Luring, Selasa (25/5/2021). Konferensi pers ini diselenggarakan Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana (SPMKB) UII.
Selain Sarwidi, ada tiga nara sumber pada konferensi ini. Mereka adalah Ir Wiryono Raharjo, MArch, PhD, Wakil Rektor Bidang Networking & Kewirausahaan UII; Dr Ir Arif Wismadi, MSc. Direktur Pembinaan & Pengembangan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh UII. Dr Dwi Handayani, ST, MSc, Kepala Divisi Pendidikan Lanjut/Lembaga Sertifikasi Profesi/Kepala SPMKB – Direktorat Pembinaan & Pengembangan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh UII.
Lebih lanjut Sarwidi menjelaskan status sosial masyarakat telah mengalami peningkatan. Banyak rumah kayu diganti dengan rumah tembok, namun konstuksi rumanya belum mempertimbangkan adanya gempa bumi. Sehingga ketika terjadi gempa bumi banyak rumah tembok yang roboh dan menimpa penghuninya.
“Gempa bumi 27 Mei 2006 berkekuatan sedang, 6,0 Skala Richter. Namun pusat gempa di daratan dan dikatagorikan dangkal serta terjadi di pemukiman padat penduduk membuat jumlah korban mencapai 5.000 orang. Rumah rusak hingga roboh mencapai 240.000,” kata Sarwidi.
Sebelum terjadi gempa bumi 2006, jelas Sarwidi, UII telah melatih ratusan mandor belajar dan membangun rumah tahan gempa di Sleman, Kota, dan Bantul. Tepatnya tahun 2003. Saat itu, UII bekerjasama dengan Jepang merancang bangunan rumah tahan gempa (Barrataga) melalui Paman Bataga (Paguyuban Mandor Bangunan Tahan Gempa).
Penanganan gempa di Yogyakarta, kata Sarwidi, dinilai cukup berhasil karena melibatkan banyak pihak. Serta adanya budaya masyarakat Yogyakarta dalam bergotong royong untuk kemajuan bersama.
“Fenomena gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006, beserta langkah-langkah penanganannya telah viral dalam pemberitaan nasional dan internasional. Sehingga fenomena ini mempercepat lahirnya Undang-undang Penanggulangan Bencana Nomor 24/2007,” kata Sarwidi.
Sarwidi menandaskan manusia tak bisa mengendalikan gempa agar tidak menjadi musibah. Namun upaya yang bisa dilakukan adalah membuat rumah tahan gempa agar tembok dan bahan-bahan atap tidak berbahaya ketika menimpa penghuninya.
“Kita perlu menata manusianya. Juga bangunan dibuat agar tahan gempa. Perlu diterapkan BMW (Biaya Mutu dan Waktu). Masyarakat sering melihat bagusnya dulu, murah dulu dan melupakan faktor keselamatan. Kini banyak tersedia bahan ringan, murah, serta teknologi murah dan kuat. Sehingga bangunan tidak hanya BWM, tetapi juga Nyaman, Indah, dan Hijau (NIH),” kata Sarwidi.