YOGYAKARTA — Pakar cyber crime Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Yudi Prayudi meragukan keaslian chatting Habib Rizieq – Firza Husein yang beredar di media sosial. Alasannya, posisi handphone milik Firza Husein sudah disita untuk kepentingan penyidikan kasus lain sekitar bulan Desember 2016. Sedang kasus chat yang memuat konten pornografi muncul pada Januari 2017.
Yudi Prayudi yang juga Kepala Pusat Studi Forensika Digital (PUSFID) UII mengatakan hal tersebut kepada wartawan di Yogyakarta, Selasa (23/5/2017). Berdasarkan fakta tersebut, menurut Yudi, sebagian pengamat berkesimpulan pelaku penyebarannya dipastikan oknum aparat yang memiliki akses terhadap Blackbarry handphone Firza Husein.
“Sehingga dengan asumsi ini maka fokus masalah bergeser dari konten pornografi dengan objeknya adalah Fulan dan Fulanah menjadi pengungkapan siapa yang menjadi pelaku penyebarannya,” kata Yudi.
Dari aspek hukum, kata Yudi, pelaku penyebaran konten pornografi dapat dijerat dengan sejumlah pasal UU ITE No 11/2008 maupun perubahannya pada UU No 19/2016. Sedang pelaku pornografinya dapat saja terjerat pada salah satu pasal dari UU Pornografi No 44/2008.
Dijelaskan Yudi, chat dan foto pornografi yang beredar di masyarakat bersumber dari video yang telah tersebar pada Januari 2017 lalu. Chat dan foto pornografi tersebut hasil copy paste sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menganalisa kebenaran.
“Apapun alasan teknis untuk mendukung pro dan kontra tersebut, tanpa melakukan analisa langsung terhadap barang bukti handphone salah satu atau keduanya milik Fulan ataupun Fulanah, maka analisa tersebut tidaklah dapat diterima,” tandas Yudi.
Lebih lanjut Yudi menjelaskan, salah satu prosedur dalam analisa forensik digital adalah harus pada barang bukti yang sifatnya, authentic atau asli dan bukan replikasi. Dalam konteks ini, barang bukti asli hanya dimiliki oleh penyidik. Bila pihak-pihak tertentu ingin juga menyampaikan pendapatnya tentang analisa kasus chat ini maka mau tidak mau harus menggunakan barang bukti yang sama pula.
“Prosedur hukum memungkinkan melakukan peminjaman barang bukti untuk kepentingan yang dapat diterima secara hukum. Melalui barang bukti yang sama maka nantinya dapat dilakukan proses pembuktian secara apple to apple terhadap kasus chat WA ini,” jelasnya.
Analisa, kata Yudi, harus bersifat komplit, analisa forensik digital sifatnya menyampaikan semua fakta yang didapat secara lengkap dari berbagai sudut pandang proses penyelidikan dan penyidikan. Fakta selain dapat digunakan untuk menguatkan juga dapat digunakan untuk membantah. Fakta mana yang akan digunakan adalah menjadi wewenang penyidik.
Sehingga dapat dipastikan bahwa ketika telah dilakukan proses penetapan tersangka, maka fakta yang didapat bukan hanya sebatas pada data chat dan foto saja namun juga memuat data-data lainnya. Dalam hal ini fakta yang diungkap harus memenuhi kaidah 5W dan 1 H.
“Karena itu, cara terbaik untuk adu argumentasi apakah chat tersebut asli ataukah palsu, demikian juga apakah foto tersebut benar adanya ataukah hanya rekayasa , hanyalah di ruang persidangan,” katanya.
Penulis : Heri Purwata