YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (DHI FIAI UII) terus berupaya meningkatkan kualitas desertasi mahasiswanya. Ada tiga tahapan yang harus ditempuh mahasiswa sebelum melakukan penelitian dan menyusun desertasi.
Demikian diungkapkan Dr Yusdani, Ketua Prodi DHI FIAI UII, kepada wartawan di ruang kerjanya, Selasa (10/12/2019). Tiga tahapan tersebut adalah ujian kelayakan, ujian tertutup dan ujian terbuka.
Dijelaskan Yusdani, ujian kelayakan tersebut dilaksanakan setelah promotor dan co-promotor menandatangani proposal desertasi untuk diajukan ke Prodi DHI. Ujian kelayakan ini menitikberatkan pada persoalan konten dan teknis. Apakah proposal desertasi memenuhi kualifikasi untuk ujian berikutnya, ujian tertutup dan terbuka.
“Setelah ujian kelayakan kemudian mahasiswa memperbaiki sesuai dengan saran saran dalam ujian kelayakan. Setelah selesai perbaikan baru dilaksanakan ujian tertutup. Setelah itu, baru dilanjutkan ujian terbuka,” kata Yusdani.
Salah satu desertasi yang menggunakan tiga tahapan adalah desertasi Drs Sofwan Jannah, MAg, dosen Prodi Hukum Islam FIAI UII. Temuan-temuan Sofwan diharapkan sebagai kajian akademik dan dijadikan sebagai landasan kemungkinan ke depan adanya penyatuan waktu sholat.
Sofwan, kata Yusdani, menggunakan dua pendekatan yaitu astronomis atau ilmu falaq dan fikih. Desertasi ini sekaligus mengintegrasikan dua pendekatan tersebut. “Kita harapkan setelah ujian terbuka, desertasi ini akan menjadi acuan umat Islam,” tandas Yusdani.
Menurut Yusdani, umat Islam di Indonesia saat memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri selalu terjadi pergesekan tentang penentuan harinya. Masing-masing memiliki pendoman sendiri-sendiri. “Mudah-mudahan temuan pak Sofwan Jannah ini akan menjadi acuan bersama,” katanya.
Ujian kelayakan desertasi, lanjut Yusdani, diterapkan Prodi DHI UII sejak tahun 2017. Ini merupakan tuntutan akademik dan Prodi DHI berharap tidak ada lagi kesalahan-kesalahan teknis saat ujian tertutup. “Sehingga ujian tertutup fokus pada penemuan yang ada pada desertasi,” katanya.
Desertasi yang sudah diujikan dan mahasiswa dinyatakan lulus, wajib publikasi di jurnal yang bereputasi. Sehingga temuan-temuan desertasi tidak hanya diketahui sebatas pada ruangan ujian, tetapi bisa diakses oleh masyarakat umum.
Selain itu, kata Yusdani, Prodi DHI juga melakukan cek plagiasi desertasi dari sisi tulisan dan referensi. Selama ini banyak mahasiswa lupa mencantumkan referensi, padahal ide tidak murni darinya sendiri. “Kita mungkin pernah baca buku referensi, kemudian muncul ide untuk melakukan penelitian. Tetapi kita lupa mencantumkan referensi tersebut. Itu berbahaya. Berarti itu termasuk plagiat,” jelas Yusdani.
Seluruh referensi itu harus ditulis dalam desertasi dan itu menunjukkan kejujuran penulis. “UII menggunakan program Turnitin untuk mendeteksi plagiasi. Prodi DHI mentolerir tingkat plagiasi sebesar 20 persen. Kalau lebih dari 20 persen, konsekuensinya kita kembalikan kepada penulis untuk diperbaiki,” katanya.