YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Shelter pengungsi bencana di masa pandemi Covid-19 wajib mengutamakan physical distancing sehingga tidak memunculkan klaster pengungsian. Selama ini, shelter pengungsian korban bencana identik dengan tempat sempit, pengungsi banyak jumlahnya, berhimpit-himpitan dan tidak ada privacy.
Demikian diungkapkan Dr Ir Arif Wismadi MSc, Direktur Simpul Tumbuh Universitas Islam Indonesia (UII) pada Webinar 2 Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana (SPMKB) secara virtual, Senin (28/6/2021). Webinar kali ini mengangkat tema ‘Creating Earthquake Resilience Communities.’
Selain Arif Wismadi, webinar ini menghadirkan keynote speaker Michael Fuller, MBE, MBA, MA dari University of Gloucestershire, Cheltenham, England. Juga Prof Ir Sarwidi, MSCE, PhD, staff ahli Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan profesor di UII.
Lebih lanjut Arif Wismadi mengatakan ketangguhan bencana masyarakat dengan konsep Sister Village sudah bagus. Saat ini, ada lebih dari 42 Sister Village di daerah rawan bencana Merapi.
Ada 27 Tempat Evakuasi Akhir (TEA) telah disiapkan untuk melayani pengungsi dari 19 desa Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi III. “Namun sayang TEA telah rusak karena tidak ditempati untuk waktu yang lama. Sehingga saat terjadi bencana shelter tidak siap,” kata Arif Wismadi.
Karena itu, lanjut Arif, Shelter harus tersedia kapan saja dan harus dimanfaatkan sepanjang waktu. “Shelter harus fleksibel untuk variasi penggunaannya. Agar siap setiap saat bila digunakan,” katanya.
Di masa pandemi Covid-19, shelter harus dimodikasi agar tetap terjaga physical distancing. “Fleksibel untuk satu unit keluarga (pada saat bencana), tetapi juga cocok untuk penghuni tunggal (di masa normal). Privasi yang memadai perlu diciptakan untuk keluarga dan keluarga saudara perempuan,” katanya.
Sedang Dr Ir Dwi Handayani, ST, MSc, IPM, Kepala Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana (SPMKB) mengatakan webinar ini untuk memperingati 15 tahun gempa bumi melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Provinsi Jawa Tengah Bagian Selatan. Bencana yang terjadi tanggal 27 Mei 2006 tersebut menyebabkan kerusakan yang parah di daerah padat penduduk.
“Dalam memperingati kejadian (insiden) tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII), melalui SPMKB (Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana), Direktorat Simpul Tumbuh UII, bekerja sama dengan Erasmus+ BUiLD (Building Universities in Leading Disaster resilience) dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), menyelenggarakan webinar ini,” kata Dwi Handayani.
Kehadiran SPMKB UII, jelas Dwi Handayani, bertugas menyelenggarakan pelatihan. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana, khususnya bagi mahasiswa, staf (Dosen dan Tendik) juga masyarakat di sekitar UII, serta mengkoordinasikan dan mendokumentasikan penelitian bertema kebencanaan di UII.