YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) orang sudah merasakan bekerja dari rumah. Orang sudah merasakan kenyamanan bekerja dari rumah. Pandemi Covid-19 atau bencana ini telah mengubah pola hidup masyarakat atau new normal, sehingga dibutuhkan fikih baru agar sesuai dengan tata kehidupan terkini.
Itulah benang merah seminar Nasional dan Temu Alumni ‘New Normal dalam Perspektif Fikih Indonesia’ yang diselenggarakan Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) Yogyakarta, Selasa (23/6/2020). Seminar menghadirkan pembicara Prof Dr M Noor Harisudin M.Fil.I, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember; Dr Muhammad Fahmi MSi, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Surakarta; Dr Moh Baehaqi MM, Ketua STAINU Temanggung; Dr Asmuni MA, Dosen FIAI UII. Sedang moderator Januariansyah Arfaizar SHI, ME, Ketua Forum Mahasiswa DHI FIAI UII.
Menurut Muh Baehaqi, fikih kebencanaan merupakan upaya untuk memahami, menjelaskan, mengantisipasi dan menyikapi peristiwa kebencanaan berdasarkan nilai-nilai, etika, dan ethos dalam Alquran dan Hadist. “Dalam perspektif fiqh, setelah memahami bencana kemudian merumuskan dalam perspektif holistik. Selanjutnya, menyikapinya dengan tindakan berdasarkan nilai Alquran dan Hadits,” kata Baehaqi.
Bencana, jelas Baehaqi, adalah apa saja yang menimpa manusia mengandung resiko bahaya, kerusakan dan kematian bagi manusia. Seluruh rangkaian bencana harus dimengerti dan dipahami untuk menghindari resiko yang lebih besar. “Upaya mengerti dan memahami; Islam telah memberikan panduan untuk itu yang disebut Fikih Kebencanaan,” kata Baehaqi.
Berdasarkan cara pandang teologis, apapun yang diberikan manusia selalu baik dan penuh kasihsebab Allah Maha Kasih dan Sayang (rahmah) serta Maha Baik (QS. 6: AlAn’aam: 54). Manusia wajib memahami dengan baik, sebab hakikat bencana akan mempersepsi sebuah kebaikan (QS. 16: An-Nahl: 30); menjadi sarana meningkatkan kualitas iman.
“Bencana bukan merupakan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah kepada manusia. Tetapi bencana merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (rahmah) Allah kepada manusia. Bencana sebagai media untuk introspeksi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa yang merugikan manusia itu sendiri,” katanya.
Secara sosiologi, bencana menyadarkan pemahaman peran manusia terhadap alam. Sebagai khalifah,manusia wajib menjaga kelestarian relasi dengan alam dan sesama manusia. Manusia harus memiliki interspatial vision yaitu muslim harus mengetahui dan memahami apa yang berlaku di tempat lain, baik dalam arti perbedaan kota, negara atau kawasan. Sedang wawasan intertemporal, muslim harus memiliki perencanaan yang kuat terhadap apa yang akan dilakukan dalam rangka mengumpulkan bekal untuk hari depan.
Menurut Baehaqi, sabar merupakan cara terbaik dalam menyikapi bencana. Menggunakan hati, memahami bahwa seluruh peristiwa adalah kehendak Allah SWT. Melalui lisan mengucapkan tarji’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Sedang menghadapi bencana dengan perbuatan adalah berusaha untuk menuju kebaikan setelah bencana terjadi. Berusaha membuat kebaikan-kebaikan jauh sebelum musibah keburukan terjadi.
Selanjutnya, mengucap syukur meskipun mendapat bencana. “Menyikapi bencana dengan positive thinking dan action akan kebaikan di balik setiap peristiwa,” kata Baehaqi.
Hikmah dari bencana, terang Baehaqi, manusia dapat memperhitungkan faktor-faktor resiko akan terjadinya bencana di masa depan. Kearifan dan bijaksana dalam menjalin relasi dengan manusia lain dan alam. “Manusia mendapat “side efect” yang positif setelah terjadinya bencana yaitu tanah subur, bangunan kokoh, positive thinking terhadap orang lain,” ujarnya.