YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Fikih yang hanya berdasarkan satu disiplin ilmu sudah out of date (kadalurwarsa) di era saat ini. Fikih modern harus mengintegrasikan dan mengkoneksikan beberapa ilmu agar mendapatkan fakta-fakta yang dapat digunakan untuk memutuskan permasalahan secara adil.
Prof Dr Muhammad Amin Abdullah mengemukakan hal tersebut ketika menjadi keynote speaker pada webinar nasional ‘Fikih Indonesia dalam Dinamika Masyarakat Perspektif Ijtihad Akademik’ secara Daring, Sabtu (27/3/2021). Wembinar ini diselenggarakan Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII).
Webinar ini berlangsung tiga sesi mulai pagi hari hingga sore hari. Sesi pertama, menampilkan narasumber Prof Dr Jaih Mubarok, SE, MH, MAg , Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Moderator Desi Anggriani, SH, MH, Kandidat Doktor Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII.
Sesi kedua, menghadirkan narasumber Prof Dr M Noor Harisudin, MPhi I, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) KH Ahmad Shiddiq Jember. Sedang moderator Muh Rizki, SH, MH, Kandidat Doktor Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII.
Sedang sesi ketiga, menampilkan narasumber Dr Drs Subroto, MSI, Alumni Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII; dan Dr Dra Siti Muniroh, SH, MSI, Alumni Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII. Moderator Januariansyah Arfaizar, SHI, ME, Kandidat Doktor Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII.
Lebih lanjut Amin Abdullah mengatakan ilmu itu harus saling mengoreksi, berdialog. Ilmu tidak bisa dikonstruksi menjadi program studi-program studi (Prodi). Menurut Amin, Prodi sekarang terlalu sempit untuk menjadi problem solving. “Ijtihad keilmuan harus diperluas jangkauannya. Harus interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin atau networking keilmuan,” kata Amin.
Amin Abdullah sudah membahas tentang networking keilmuan sejak tahun 2002-2004. “15 tahun kemudian saya mengemas ulang melalui inter dan trans disiplin ilmu. Sekarang oleh UII disebut sebagai Ijtihad Akademik. Ilmu itu harus saling mengoreksi, berdialog,” kata mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga ini.
Amin mencontohkan kasus fikih di Indonesia. Tahun 2013, Machica Mochtar menggugat ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkaitan dengan warisan. Dia menggugat ke PA karena tahu siapa bapak biologis anaknya. Tetapi bapaknya tidak mau mengakui. Karena bisa jatuh nama baiknya sebagai pejabat tinggi kalau mengakui.
Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, kalau dalam buku-buku lama itu disebut Ummu Walad. Tetapi di era saat ini, putusan yang hanya berdasarkan buku-buku lama tidak diketahui siapa bapaknya. Namun ketika dilakukan tes dengan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) bisa ketemu bapaknya.
Ketika banding ke Mahkamah Konstitusi (MK), PA Jakarta Selatan mendapat teguran karena putusannya minus sain. “Banyak contoh kasus di Tanah Air, kemudian dianulir dan amar keputusannya menyebut bahwa kalau kasus serumit itu harus dengan tes DNA,” kata Amin.
Kasus terbaru, jelas Amin, tentang pandemi Covid-19. Kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi sudah masuk dunia. Dalam bedah bukunya di Padang Sidempuan, ada peserta bedah buku yang mengkritisi.
Peserta bedah buku mengatakan jika doa qunut yang sering dibaca umat Islam tidak cocok untuk pandemi. Karena dalam qunut nazilah, yang didoakan hanya orang Islam saja. Padahal pandemi covid diderita oleh semua manusia yang tidak hanya beragama Islam. “Seharusya doa qunut itu untuk semua manusia. Ketika menulis, saya tidak terlintas tentang hal itu,” kata Amin sambil tertawa.
Berdasarkan pengalaman tersebut, menurut Amin, banyak tradisi fikih era normal harus disesuaikan dengan era pandemi. “Misalnya, 3 M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Itu kan sain. Sholat berjamaah, yang dulu harus bersenggolan dengan makmum lain, sekarang harus berjarak 1-1,5 meter agar tidak berpotensi menularkan Covid,” jelas Amin.
Sementara Dekan FIAI UII, Dr Tamyiz Muharrom, MA mengatakan fikih merupakan ijtihad dari cendekawan muslim agar bisa berkembang sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Ilmu akan menjadi alat untuk pembaharuan fikih jika memasukkan ilmu-ilmu lain menjadi satu integrasi yang kuat.
“Untuk kontek Indonesia, perlu sekali pembahasan dengan multi disiplin ilmu agar terjadi pembaharuan hukum yang berlaku di Indonesia,” kata Tamyiz Muharrom saat membuka Webinar ini.