YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Firdaus Muhammad Arwan menandaskan implementasi akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT) pada perbankan syariah belum sesuai dengan prinsip syariah. IMBT merupakan akad sewa menyewa yang diakhiri dengan pemindahan kepemilikan obyek dari pemberi sewa (mu’ajir) kepada penyewa (musta’jir) setelah berakhirnya masa sewa.
Namun ada dualisme hukum antara fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengenai pemindahan kepemilikan obyek sewa. Menurut fatwa DSN, pemindahan kepemilikan obyek sewa bersifat relatif dan tidak mengikat. Sedangkan KHES menetapkan pemindahkan kepemilikan obyek sewa bersifat mutlak setelah akad sewa menyewa berakhir.
Firdaus Muhammad Arwan mengemukakan hal tersebut pada Ujian Terbuka dan Promosi Doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Sabtu (24/8/2019). Firdaus Muhammad Arwan berhasil mempertahankan desertasi yang berjudul ‘Ijarah Muntahiyah Bittamlik sebagai Konstruksi Perjanjian Sewa Beli Perspektif Maqasid Asy-Syari’ah’ di depan tim penguji. Ia dinyatakan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan dan menjadi doktor ke 18.
Sidang Ujian Terbuka dipimpin Wakil Rektor I, Dr Drs Imam Djati Widodo MEng.Sc, dan Sekretaris Dr Drs Yusdani MAg. Sedang Promotor, Prof Drs Abdul Ghofur Anshori MH, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta; Co Promotor, Dr Drs Dadan Muttaqien SH MHum. Penguji, Prof Dr Abd Salam Arief MA, Dr M Muslich KS MAg, Dr Dra Rahmani Timorita Y MAg.
Lebih lanjut Firdaus Muhammad mengatakan sifat tidak mengikat menurut fatwa DSN berakibat tidak ada kepastian hukum. Selain itu, fatwa DSN bertentangan dengan asas pacta sun servanda maupun nas syar’i, serta Fatwa DSN Nomor 85/DSN-MUI/III/2012 tentang wa’d (janji).
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Firdaus Muhammad memberikan beberapa alternatif. Pertama, janji pemindahan kepemilikan obyek akad IMBT dalam fatwa DSN harus bersifat mutlak dan mengikat.
Kedua, penyelesaian musta’jir yang wanprestasi ditempuh dengan cara menjual obyek akad. Apabila sisa ujrah yang belum dibayar nilainya lebih besar dari sisa pembiyaan, maka seluruh hasil penjualan obyek diambil oleh mu’ajir dan musta’jir dikenakan ta’wid. Sedang bila sisa ujrah yang belum dibayar nilainya lebih kecil dari sisa pembiayaan, maka selisih lebihnya diberikan kepada musta’jir setelah dikurangi ta’wid.
Ketiga, review ujrah harus diterapkan secara seimbang dan konsisten, baik ketika ujrah naik maupun turun.