SAAT ini masih banyak jajanan anak sekolah yang dijajakan pedagang atau pengasong, kurang sehat dan belum memperhatikan kebersihan. Bahkan dalam jajanan anak sekolah tersebut sering ditemukan bahan-bahan berbahaya yang sangat tidak layak untuk dikonsumsi.
Kondisi ini menginisiasi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) Yogyakarta melakukan pendampingan terhadap pedagang jajanan anak sekolah atau pengasong di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pedagang asongan yang didampingi adalah Komunitas Pedagang Asongan Sekolah (KUPAS) Mugo Lestari. Pendampingan yang telah dilakukan selama 2015-2016 ini untuk memastikan agar jajanan anak sekolah tidak mengandung bahan berbahaya.
Menurut Koordinator Umum Pendampingan KUPAS, dr Sunarto MKes bahan-bahan berbahaya tersebut antara lain, pengawet makanan maupun non makanan yang berlebihan, pewarna tekstil dan boraks. Selain itu, tidak sedikit dari jajanan tersebut yang terkontaminasi bakteri e-coli dari sumber air yang tidak sehat.
Apabila bahan-bahan berbahaya dalam jajanan tersebut terus menerus dikonsumsi maka kesehatan tubuh anakakan terancam. “Kondisi ini dalam jangka pendek dapat mengakibatkan gangguan gizi pada anak, cacingan, anemia, dan obesitas. Sedangkan jajanan yang mengandung bakteri atau virus dapat menyebabkan diare, muntah-muntah hingga keracunan, bahkan dapat merusak organ tubuh bagian dalam seperti pengerasan hati hingga gagal ginjal,” kata Sunarto kepada jogpaper.net di Yogyakarta, Ahad (12/12/2016).
Bahan berbahaya yang paling sering ditemukan dalam jajanan anak adalah formalin, rhodamin B, saklamat dan pemanis buatan. Kondisi ini terus terjadi akibat masih banyak pasar yang mensuplai bahan-bahan berbahaya tersebut. Sehingga para produsen pangan jajanan anak dapat dengan mudah mendapatkanya. Selain itu, sanitasi dan higieni dalam pengelolaan jajanan anak juga belum baik.
Karena itu, Sunarto memandang perlu untuk dilakukan pendampingan terhadap para pedagang asongan dan penyedia jajanan anak sekolah. Sehingga para penyedia pangan jajanan anak sekolah bisa mandiri dalam menciptakan makanan yang sehat, bersih, dan aman.
Selain pendampingan, kata Sunarto, juga dilakukan pengawasan terhadap pedagang jajanan anak sekolah agar Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang sehat, bersih, dan aman. “Kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi harus tegas dan berhati-hati dalam mengawasi keamanan pangan di sekolah. Pengawasan dapat dibantu perwakilan orangtua, guru, dan murid, serta didukung para penyedia pangan jajanan anak di sekolah seperti pengelola kantin sekolah dan para pedagang asongan sekolah,” katanya.
Pendampingannya, jelas Sunarto, anggota KUPAS yang jumlahnya sebanyak 150 pedagang diminta untuk mengecekan barang dagangannya. Pengecekan meliputi kandungan zat pengawet borak/formalin, zat pewarna rodamin, dan kandungan e coli. Ada sekitar 20 persen pedagang yang belum lulus uji akibat makanannya masih mengandung bakteri e-coli.
“Pedagang yang belum lulus ini terus didampingi hingga lulus. Masih banyaknya kandungan bakteri e-coli ini kemungkinan faktor kebersihan belum dijalankan dengan baik,” jelas Sunarto.
Ada tiga bentuk pendampingan yaitu pendampingan kelembagaan dan anggota KUPAS; pendampingan peningkatan kualitas pedagang; dan pendampingan peningkatan kualitas barang. Pendampingan kelembagaan meliputi sosialisasi pendampingan Gerakan Jajan Sehat Sekolah, pemetaan anggota Kupas, penyuluhan managemen organisasi, dan membuat promosi dan publikasi Kupas.
Pendampingan peningkatan kualitas pedagang antara lain pelatihan pengembangan usaha,
penyuluhan pengolahan makanan sehat dan aman, pelatihan pembuatan makanan alternatif. Sedang pendampingan peningkatan kualitas barang adalah monitoring pengolahan makanan yang sehat, bersih dan aman; serta uji laboratorium produk anggota KUPAS.
“Kita juga mengadakan acara lomba pedagang asongan favorit dinilai dari aspek kebersihan, sopan santun dan komunikasi dengan pelanggan dan sekolah. Pendampingan ini cukup berpengaruh terhadap keleluasaan berdagang di tempat manapun. Selain itu menambah kepercayaan diri dalam bernegosiasi dengan pihak sekolah dan wali murid,” kata Sunarto.
Penulis : Heri Purwata