YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Gatot Sugiharto SH, MH, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta meraih gelar doktor di Program Studi Hukum, Program Doktor, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (FH UII), Jumat (11/12/2020). Ia berhasil mempertahankan desertasi berjudul ‘Kebijakan Penal dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.’
Dewan penguji terdiri dari Dr Abdul Jamil, SH, MH (Dekan Fakultas Hukum UII/Ketua Sidang), Prof Jawahir Thontowi, SH, PhD (Kaprodi/Sekretaris), Prof Dr Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH (Penguji 1), Prof Dr Hartiwiningsih, SH, MHum (Penguji 2), Dr M Arif Setiawan, SH, MH (Penguji 3), Hanafi, SH, LLM, MH, PhD (Penguji 4). Sedang Prof Dr Rusli Muhammad, SH, MH sebagai Promotor dan Dr Aroma Elmina Martha, SH, MH selaku Co Promotor.
Desertasi Gatot Sugiharto meneliti pasal 127 dan 128 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Reformulasi Perumusan delik dan Sanksi dalam Undang-undang sebagai Ius Constituendum. “Berdasarkan hasil penelitian, kedua pasal tersebut belum sesuai dengan asas keadilan/prinsip keadilan,” kata Gatot Sugiharto.
Dijelaskan Gatot, pasal 127 menyebabkan ambiguitas dan multitafsir dalam penerapannya. Pasal ini sering dimanfaatkan para pihak yang berkepentingan terutama para pelaku tindak pidana berlindung sebagai penyalahgunaan narkotika untuk menghindari sanksi pidana yang lebih berat.
Sedangkan pasal 128, lanjut Gatot, mengenai kriminalisasi terhadap orang tua yang tidak melaporkan anaknya yang menjadi pecandu/anaknya. Sanksi kepada orangtua berupa kurungan selama enam bulan.
Pasal ini juga menimbulkan permasalahan, karena dengan dipidananya orang tua yang tidak melaporkan anaknya ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk menjalani rehabilitasi dapat dikenai pidana. “Penerapan pasal ini berakibat pada orang tua tidak dapat berperan serta dalam upaya pemulihan kesehatan pecandu/anaknya. Sebab keterlibatan orang tua sebagai bagian dari unsur penting dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu,” kata Gatot.
Selain itu, Gatot Sugiharto juga mengusulkan adanya reformulasi rumusan delik dan sanksi UU Nomor 35/2009 tentang narkotika sebagai Ius Constitutum menjadi dasar untuk merumuskan delik dan sanksi di masa datang sebagai Ius Constituendum. Di antaranya, Rumusan ketentuan pidana pada pasal 127 tidak dibedakan antara pemula, pecandu, korban penyalahgunaan dan penyalahguna yang terlibat dalam penjaringan.
“Rumusan Ketentuan Pidana pada pasal 127 Undang-undang Narkotika di masa datang seharusnya ditambahkan dan dibedakan antara pemula, pecandu, korban penyalahgunaan dan penyalahguna yang terlibat dalam penjaringan,” kata Gatot.
Kemudian pada pasal 128 mengenai sanksi kurungan selama enam bulan terhadap orang tua penyalahguna narkotika seharusnya diganti cara lain. Pelaksanaan sanksi kurungan selama enam bulan terhadap orang tua penyalahguna narkotik akan menyebabkan orang tua tidak bisa terlibat aktif dalam proses pemulihan anak kasus narkotika.
Selanjutnya, penyalah guna diancam dengan pidana ringan, khusus bagi penyalah guna untuk diri sendiri diancam dengan pidana maksimum 4 tahun (Pasal 127). Sedang penyalah guna yang sudah menjadi pecandu narkotika diancam dengan pidana 6 bulan (Pasal 134 (1).
Ketentuan tersebut bertolak belakang dengan ketentuan yang ada pada pidana umum, dalam Pidana Umum pelaku yang melakuan tindak pidana berulang atau residivis penghukumannya akan ditambahkan 1/3-nya. Sedangkan dalam Undang-undang Narkotika menyebutkan bahwa penyalahgunan narkotika secara berulang atau pecandu maka hukumannya wajib direhabilitasi.
“Rumusan pidana penjara pada pasal 127 bagi penyalahguna narkotika bagi diri sendiri seharusnya lebih diringankan dibanding pidana bagi pecandu,” katanya.
Pada pasal 128 (3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. Persyaratan ini menjadi krusial, karena bagi Pecandu Narkotika yang telah cukup umur, yang sudah menjalani rehabilitasi medis lebih dari 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah, menjadi terbuka atau berpotensi untuk dituntut pidana bila tidak melaporkan dirinya. Seharusnya mekanisme tersebut dilengkapi dengan mekanisme pengawasan.