YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Gender merupakan penggolongan secara sosiologis yang mengacu pada peran, perilaku, ekspresi dan identitas seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Gender yang diasosiasikan dengan istilah maskulin dan feminin ini telah memunculkan ketidakadilan, khususnya pada perempuan. Karena itu, produk hukum ke depan harus dapat menghilangkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Demikian diungkapkan Dr Sri Wahyuni, SAg, SH, MAg, MHum, dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada Webinar Fikih Keindonesiaan 2 secara Daring, Kamis (30/9/2021). Webinar sesi pertama yang mengangkat tema ‘Gender dalam Kajian Hukum Internasional’ ini dimoderatori Navirta Ayu, SE, ME, Kandidat Doktor Program Studi (Prodi) Hukum Islam Program Doktor Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII).
Webinar Fikih Keindonesiaan ini diselenggarakan Prodi Doktor Hukum Islam (DHI) FIAI UII. Sesi kedua, menghadirkan pembicara Prof Dr Sefriani, SH, MHum, Guru Besar Fakultas Hukum UII. Sesi kedua yang mengangkat tema ‘Isu-isu dan Perkembangan Hukum Internasional’ ini dimoderatori Zeni Farhan Sidiq, Lc, MH, Kandidat Doktor Prodi DHI FIAI UII.
Lebih lanjut Sri Wahyuni mengatakan ketidakadilan terletak pada pandangan terhadap perempuan yang masih dianggap makhluk lemah. Pandangan ini telah munculkan gerakan-gerakan perjuangan gender. “Ketidakadilan gender meliputi marginalisasi perempuan, subordinasi perempuan, stereotype terhadap perempuan, double bardon (peran ganda), kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan,” kata Sri Wahyuni.
Perempuan, kata Sri Wahyuni, merupakan human, sehingga seharusnya mereka mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki. Karena itu, dalam kancah internasional pada abad 20 muncul gender atau feminisme yaitu gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Kajian gender, kata Sri, mulai mengemuka pada konferensi internasional yang diselenggarakan Ford Foundation tahun 1980-an dan 1990 di Amerika Serikat. Selain itu, juga muncul isu di Jurnal Millenium berjudul ‘Women in International Relations.’
“Ini yang menandai awal munculnya kajian tentang gender dan Hubungan Internasional. Masalah gender kemudian menjadi perhatian dunia, sehingga masuk dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsan (PBB),” kata Sri Wahyuni.
Dijelaskan Sri Wahyuni, kemudian berdasarkan rekomendasi dari Commision on the Status of Women (CSW) terhadap PBB, maka dilaksanakan konferensi internasional pertama tentang perempuan. Konferensi ini diselenggarakan di Mexico tahun 1975.
Pada konferensi tersebut membicarakan tentang hak-hak perempuan, namun sebatas meninjau kembali peraturan atau perundang-undangan perempuan sudah sesuaidengan instrumen internasional. “Konferensi tersebut juga memunculkan gagasan membuat rancangan hak-hak perempuan yang berlaku secara universal yang menghasilkan Konfensi Perempuan,” jelas Sri Wahyuni.
Langkah berikutnya, kata Wahyuni, Convention on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) berhasil menciptakan kesepakatan hak asasi internasional yang di desain khusus melindungi hak-hak perempuan. Selain itu, juga memajukan kesetaraan dan keadilan gender (laki-laki dan perempuan). Selain CEDAW, juga ada Beijing Platform of Action (1995), Milenium Development Goals (MDG’s), dan United Nation Conference on Human Settlements di Istambul (1996).
Sementara Dr Drs Yusdani, MAg, Ketua Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII mengatakan isu gender merupakan salah satu isu hukum dan hukum Islam yang muncul di era kontemporer baik dalam ruang domestik maupun publik atau hukum internasional. Karena itu, untuk mengembangkan Fikih Keindonesiaan di Prodi DHI FIAI UII perlu mempertimbangkan gender sebagai perspektif dan isu-isu kemanusiaan dalam hukum internasional masa kini.
“Atas dasar itu, Webinar Fikih keindonesiaan prodi DHI FIAI UII sesi 2 hari ini menghadirkan narasumber Dr Sri Wahyuni dosen UIN Sunan Kalijaga yang konsen dengan isu gender, dan Prof Dr Sefriani Guru Besar FH UII dan pakar hukum internasional,” kata Yusdani.