YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi mengatakan sebelum kemerdekaan, relasi keislaman dan kebangsaan sudah memiliki pondasi, baik teologis maupun sosiologis, dan ideologis. Sehingga masalah nasionalis dan religius atau agamis bagi seorang calon pemimpin tak perlu dipertentangkan karena keduanya sudah menyatu dan melekat pada diri seseorang.
Haedar Nashir mengemukakan hal tersebut pada kuliah umum Keislaman dan Kebangsaan yang diikuti ratusan mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) di Auditorium FH UII, Kamis (7/9/2023). Kuliah Umum mengangkat tema ‘Suksesi Kepemimpinan Nasional : Mencari Pemimpin yang Nasionalis dan Agamis.’
Lebih lanjut Haedar mengatakan masalah nasionalis dan religius itu sudah tidak ada lagi dikotomi. Seorang yang nasionalis pasti religius/agamis atau seorang yang agamis/religius sudah pasti nasionalis. Keduanya tidak ada dikotomi yang dipertentangkan lagi.
Haedar Nashir memberi contoh Bung Karno, Presiden RI yang pertama. Bung Karno seorang yang nasionalis sekaligus religius. Ia seorang nasionalis sejati yang juga taat beragama atau sangat religigius.
Menurut Haedar Nashir, masalah nasionalis-religius/ agamis sudah selesai sehingga tidak perlu dipertentangkan dan dipersoalkan lagi. Yang terpenting bagaimana jiwa nasionalisme dan religiusitas/ agamis itu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dikatakan, kesamaan maupun keragaman selalu ada dialektika, selalu ada dinamika yang tidak selalu normatif dan hitam putih. Kebangsaan atau keagamaan tidak lagi ada dikotomi, apalagi menciptakan posisi diametal antara agama dan nasionalisme. Justru yang paling penting adalah bagaimana mengintegrasikan keagamaan/ keislaman dan nasionalisme sekaligus juga memberi makna substantif pada nilai keislaman dan negarawan atau kebangsaan.
Karena itu, kita berharap bahwa sistem pemilu dijaga dengan baik sehingga proses ini tidak menimbulkan permasalahan yang bersifat krusial. Selalu ada di sana-sini masalah dalam penyelenggaraan pemilu, tapi jangan sampai ada hal-hal yang fatal yang kemudian menimbulkan kekecewaan yang masif dan semua pihak harus bertanggung jawab dengan posisinya, aparat atau birokrat.
Haedar mengharapkan agar seluruh warga meletakkan posisinya masing-masing tegak di atas kepentingan bangsa dan negara serta sistem. Para pemimpin jangan sampai menyalahgunakan kekuasaan karena di situlah sering Pemilu mengalami distorsi dan akhirnya menimbulkan kekecewaan yang masif.
“Saya yakin Pemilu 2024 harus menjadi tempat kita untuk makin dewasa dan tidak terus mencoba-coba. Jadikan Pemilu ini sebagai jalan panjang kita membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” kata Haedar Nashir. (*)