YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Program Studi Hubungan Internasional (PSHI), Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar diskusi tentang Perempuan dan Pembangunan di Women’s Days Internasional secara virtual, Selasa (8/3/2022). Diskusi bertajuk ‘International Relations UII in Conversation: Women in Development’ menghadirkan pembicara Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, HE Penny Williams PSM, Duta Besar Australia untuk Indonesia, dan Karina Utami Dewi.
Diskusi dibuka, Ir Wiryono Raharjo, MArch, PhD, Wakil Rektor Bidang Networking & Kewirausahaan UII. Wiryono mengatakan tidak aturan yang menghambat perempuan untuk mendapatkan akses setara dengan kaum laki-laki.
Bahkan UII sendiri telah memberikan peluang bagi perempuan untuk memimpin fakultas. Saat ini ada dua fakultas yang dipimpin perempuan yaitu Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP).
“Fakultas Kedokteran mayoritas dikendalikan oleh perempuan. Artinya ini menunjukkan peran yang signifikan selama satu dekade terakhir. Lulusan FK juga mayoritas perempuan,” kata Wiryono.
Selain itu, di kampung Wiryono Raharjo yang juga sebagai Ketua Rukun Tetangga (RT) mengaku tidak bisa mengelola kampung tanpa partisipasi perempuan. “Mereka yang mengelola keuangan sejak berdirinya kampung hingga saat ini. Tanpa kehadiran perempuan, manajemen RT sehari-hari tidak akan jalan. Ini contoh besar, karena hal seperti ini ada di mana-mana. Ini sangat dekat dengan keseharian kita dalam mengelola kehidupan,” katanya.
Sedang GKR Mangkubumi, Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Parwabudaya, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat mengatakan masih banyak pekerjaan rumah (PR) jika berbicara tentang perempuan dalam pembangunan. Apalagi kalau berbicara kesetaraan gender, sampai saat ini belum maksimal.
“Memang kalau kita berbicara dengan perempuan dengan pendidikan yang cukup baik. Mereka memiliki wawasan yang luas, dan tentunya memiliki kesempatan yang lebih luas juga,” kata GKR Mangkubumi.
GKR Mangkubumi merasa beruntung terlahir setelah era Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Era sebelum HB IX, perempuan di dalam kraton diajari untuk menari. Namun mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan menarinya di depan publik.
“Mereka (perempuan Kraton) belajar menari, tetapi tidak boleh diexpose dan tidak boleh pentas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, sejak Eyang HB IX, perempuan boleh pentas, boleh menari di depan publik,” katanya.
GKR Mangkubumi sendiri belajar menari sejak umur enam tahun. Namun ia mempunyai kesempatan pentas di dalam Kraton. “Saya juga belajar di Sanggar, dan saya mendapat kesempatan menari di beberapa negara,” ujarnya.
Karina Dewi, Sekretaris Program Studi HI UII untuk Program Internasional. mengatakan pemberdayaan perempuan ini sangat penting. Karena upaya tersebut tidak hanya bermanfaat bagi diri perempuan saja, tetapi juga bagi orang lain. Jika perempuan berdaya akan meningkatkan status sosial, ekonomi, politik bagi perempuan dan juga akan berdampak pada negara yang lebih maju.
“Kalau potensi perempuan bisa ditingkatkan, misalnya menjadi dokter, mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya akan berdampak positif terhadap negara,” kata Karina.
Sementara Penny Williams, mengatakan masalah kesetaraan gender tidak hanya dihadapi Indonesia, tetapi juga negara lain. Ia mencontohkan, Australia juga menghadapi permasalahan kesetaraan gender.
“Perempuan hendaknya dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan baik yang dibuat pemerintah atau negara, maupun non negara. Agara kebijakan yang dihasilkan tidak hanya berpihak pada salah satu gender, tetapi secara komprehensif mampu mengakomodir dan kesetaraan gender,” kata Penny Williams.