YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Transformasi hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana di Indonesia sudah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Saat ini degradasi moral dan tindak kriminal sudah merajalela serta sangat membahayakan eksistensi kehidupan masyarakat.
Dominasi hukum pidana penjara dalam pemidanaan kejahatan kurang efektif dalam menekan kejahatan. Sehingga seharusnya implementasi hukum pidana Islam sudah menjadi kebutuhan dalam lingkup negara, bukan hanya kebutuhan pribadi saja. Sebab semua rakyat Indonesia pasti menginginkan kehidupan yang aman dan damai tanpa diganggu oleh para penjahat.
Demikian diungkapkan Agus Santoso SPdI, BA, MPd pada ujian terbuka promosi doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Rabu (6/1/2021). Agus Santoso mengangkat judul desertasi ‘Transformasi Pemikiran Hukum Pidana Islam terhadap Sistem Hukum Pidana di Indonesia tentang Pidana Penjara.’
Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji di Kampus UII Demangan Yogyakarta dan dipancarkan melalui YouTube. Tim Penguji terdiri dari Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, Ketua Sidang dan juga Rektor UII. Prof Dr Mahrus Munajat SH, MHum, Dr Tamyiz Mukkarom MA, Prof Dr Rusli Muhammad SH, MHum, Dr Drs Muntoha SH, MAg, Dr M Roy Purwanto MA.
Lebih lanjut Agus Santoso menjelaskan hukum pidana Islam dianggap sebagian orang sebagai hukum primitif, kejam dan dehumanis. Statemen tersebut lahir karena kajian umumnya para ahli hukum terfokus pada bentuk-bentuk pemidanaan dalam hukum Islam. Sedangkan kajian-kajian tentang maqāsid asy-syarī’ah dan filsafat hukum pidana Islam sering terlupakan.
Menurut Agus Santoso, terdapat tiga argumentasi yang menjadi pijakan terkait upaya menjadikan hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Pertama, secara filosofi dapat dikatakan bahwa substansi sendi-sendi normatif ajaran Islam dapat melahirkan epistemologi hukum yang memberi sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan dan cita hukum masyarakat Indonesia, Kedua, secara sosiologis, masyarakat hukum Indonesia memiliki cita dan kesadaran hukum serta berkesinambungan.
Ketiga, secara yuridis, perjalanan sejarah hukum nasional sangat dipengaruhi nilai-nilai religius yang menjadi ciri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama. Di sisi lain, terlihat dalam penyusunan tata hukum nasional tetap dipertahankan nilai-nilai agama sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sangat berbeda dengan penyusunan KUHP yang kosong dari norma religius dan penuh dengan cita kolonialis.
Mengutip pendapat Bahtiar Effendy, Agus Santoso mengatakan kajian tentang model transformasi hukum pidana Islam ke dalam hukum positif mengerucut pada dua opsi berbeda. Pertama, hukum Islam harus menjadi dasar negara dan harus diterima sebagai konstitusi negara. Aliran ini mengatakan kedaulatan politik di tangan Tuhan dan aplikasi prinsip syūra berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern di bawah ini.
Kedua, Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan oleh umat. Aliran ini berpendapat pembentukan negara Islam dalam pengertiannya yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi mereka yang terpenting adalah bahwa negara menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar etis yang telah ditetapkan dalam Alquran.
Model aliran pertama lebih menekankan aspek legal dan formal syariat Islam. Sedangkan model aliran kedua lebih menekankan substansi syariat Islam yang diintegrasikan ke dalam hukum nasional.
“Bila dicermati pola dua aliran di atas hakikatnya memiliki satu tujuan yang sama, yaitu penegakan hukum Islam dalam lingkup undang-undang negara, meskipun masing-masing memiliki model dan sudut pandang yang berbeda,” kata Agus Santoso.
Kejahatan, kata Agus Santoso, merupakan problem universal dunia. Semua negara di dunia disibukkan dengan masalah kejahatan yang sangat mempengaruhi keamanan dan stabilitas negara. Sebagian besar negara kurang mampu menekan peningkatan kejahatan. Hanya sebagian kecil negara yang tingkat kejahatannya rendah.
“Di antara negara yang tingkat kejahatan masyarakat rendah adalah negara Arab Saudi. Secara konstitusi negara Arab Saudi menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Hal itulah berpengaruh dalam menekan tindak kejahatan di masyarakat,” katanya.