YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Institut Pertanian STIPER (Instiper) Yogyakarta memiliki komitmen mencetak profesional untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Lulusan Instiper Yogyakarta dipersiapkan bisa menjadi mesin untuk mengembangkan model ekonomi dan bisnis KPH.
Hal itu diungkapkan Rektor Instiper Yogyakarta, Dr Ir Purwadi MS pada malam ramah tamah dengan Rimbawan KPH di Kampus Maguwoharjo, Kamis (20/9/2018). Pertemuan ini dihadiri sekitar 100 KPH dan perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Lebih lanjut Purwadi mengatakan Instiper Yogyakarta menerapkan flex curricula, atau kurikulum yang mengikuti kebutuhan KPH. Selain itu, peserta didik Instiper Yogyakarta dibekali paket utuh yakni menguasai sistem produksi dan jasa, serta menguasai bisnis.
Menurut Purwadi, ketika bekerja di KPH, mereka profesional, bersertifikat, dan mampu membuka serta membangkitkan peluang operasi ekonomi di KPH. Sehingga mereka tidak selamanya menjadi beban KPH. Bahkan mereka menjadi mesin untuk mengembangkan model ekonomi dan bisnis sesuai dengan karakteristik KPH.
Kemampuan lulusan Instiper Yogyakarta, kata Purwadi, tidak sebatas pada usaha di dalam hutan, tetapi mereka bisa bekerja sampai dengan usaha berbasis teknologi dan industri. Ini berarti, pendekatan profesi berbasis analisi klinis yang spesifik, bukan generik.
“Ini berarti, pembangkitan peluang ekonomi kreatif akan dilakukan oleh tenaga profesional tersebut. Ini berarti, masalah pendanaan KPH dapat sekaligus disumbangkan oleh tenaga profesional hasil didikan Instiper Yogyakarta. Mereka dibekali dengan kompetensi berjejaring dan kerjasama lintas sektor, bahkan lintas pihak pemerintah,swasta, dan kelompok masyarakat,” tandasnya.
Indonesia memiliki hutan tropis seluas 60 persen dari luas daratan. Meski kaya hutan, namun tidak otomatis Indonesia menjadi negara kaya. Sebab cara pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia belum optimal.
Padahal jika sumber daya hutan dikelola dengan baik bisa membuat negara membuat masyarakat sejahtera. Seperti Swedia, Finlandia, Canada, Jepang dan Cina bisa berkembang pesat karena didukung salah satunya berasal dari sumberdaya hutan.
Pemerintah telah dan sedang melakukan reformasi pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Sebab selama ini, hutan dikelola pemegang izin hak pengusaha hutan (HPH) dan pemegang hak lain justru membuat kerusakan. Para pemegang hak tersebut tidak bisa menjaga kelestarian hutan sehingga terjadi deforesetasi. Bahkan memunculkan berbagai bencana seperti kebakaran, banjir serta punahnya sejumlah jenis tumbuhan dan satwa penting bagi kehidupan.
Reformasi pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan telah membuahkan kebijakan utama yakni pembangunan kembali unit-unit pengelolaan hutan di tingkat tapak, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Keberadaan KPH diharapkan mampu membangun kehidupan lokal dari tempat-tempat terpencil dan mampu mengangkat perekonomian nasional secara berkelanjutan.
Secara nasional hutan diprediksikan bisa menghasilkan lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Selain itu, lebih dari Rp 200 triliun menjadi bagian yang dapat dinikmati msyarakat di dalam maupun di sekitar hutan. “Jika ini bisa terwujud, negara tidak lagi terpengaruh gonjang-ganjing moneter global, karena kandungan impor pada usaha kehutanan sangat minimal,” kata Purwadi.
Saat ini, ada 600 KPH yang tersebar di hutan-hutan seluruh Indonesia. Namun belum seluruh KPH yang ada di Indonesia bergerak kearah pembangkitan ekonomi berkelanjutan. Baru 10 persen yang menggeliat. Hal ini dikarenakan KPH dibebani dua masalah yakni pendanaan operasional dan pendanaan investasi, serta minimnya sumberdaya manusia profesional yang mengelola KPH. “Banyak KPH jatuh bangun karena dua masalah, dana dan SDM (sumber daya manusia) profesional,” kata Purwadi.
Sementara Dr Ir Ida Bagus Putera Prathama MSc, Dirjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan KPH merupakan jalan terakhir untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan. Kalau secara legal, Indonesia sudah terlambat dalam mengelola hutan dengan baik sejak 1999.
“Pemerintah mendukung full KPH. Tetapi KPH itu berada di bawah provinsi. Karena itu, keberhasilan itu tergantung pada seberapa besar antusias provinsi. KPH yang sudah jalan dan bisa menjadi contoh ada di Yogyakarta,” kata Ida Bagus.