YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Islam tidak menentukan jenis sistem pemerintahan berupa khilafah. Sebab tidak ada dalil Alquran dan hadis yang secara eksplisit memerintahkan untuk mendirikan negara khilafah. Namun usulan sistem pemerintahan khilafah tersebut merupakan hasil politisasi pendukung saat itu.
Demikian diungkapkan Irwan Masduqi dalam ujian terbuka mempertahankan desertasi di Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Selasa (30/8/2022). Irwan Masduqi, pengasuh Pesantren Assalafiyyah II Terpadu ini mengangkat judul desertasi Kritik Syaikh Wahbah az-Zuhaili dan Syaikh Ahmad at-Tayyib terhadap Sistem Khilafah.’
Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji yang terdiri Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD Ketua Sidang/Rektor UII; Dr M Roy Purwanto, MAg, Sekretaris; Prof Dr Kamsi, MA, Promotor; Dr Drs Yusdani, MAg, Co Promotor. Sedang penguji Dr Tamyiz Mukharrom, MA, Dr Drs Muntoha, SH, MAg dan Dr M Muslich KS, MAg.
Dijelaskan Irwan Masduqi, desertasi ini dilatarbelakangi hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis Ahad, 4 Juni 2017. Hasil survei, sebanyak 79,3% responden menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah yang terbaik bagi Indonesia. Sebanyak 9,2% responden setuju dasar negara Indonesia diganti menjadi khilafah, yakni mereka yang merupakan simpatisan Hizbu Tahrir (HTI) dan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Sedang 11,5% responden lainnya mengatakan tidak tahu.
“Menyadari bahaya gerakan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Perppu No. 2 Tahun 2017 secara resmi membubarkan Ormas yang mengancam eksistensi NKRI. HTI akhirnya dibubarkan melalui jalur hukum, meskipun memiliki legalitas Keputusan Menkumham Nomor : AHU-00282.60.10.2014,” kata Irwan.
Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan pemikiran tentang pentingnya memperkuat dasar-dasar negara Indonesia dan memberikan catatan kritis terhadap pemikiran-pemikiran khilafah yang ditawarkan oleh kelompok anti Pancasila. Karena itu dipilih kritik terhadap sistem khilafah dalam perspektif ulama kontemporer, yakni Prof Dr Wahbah az-Zuhaili dan Syaikh Dr Ahmad at-Tayyib.
“Pemikiran Syaikh Wahbah az-Zuhaili dan Syaikh Ahmad at-Tayyib yang mengkritik sistem khilafah sangat relevan untuk dikaji guna memenuhi tujuan di atas,” kata Irwan yang juga Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.
Penelitian ini, jelas Irwan, menggunakan pendekatan historis dan pendekatan sejarah pemikiran. Pendekatan historis digunakan untuk menjelaskan riwayat hidup Wahbah az-Zuhaili dan Ahmad at-Tayyib, baik menyangkut kepribadian, pendidikan, karir maupun pemikirannya. Sedangkan pendekatan sejarah pemikiran digunakan untuk menjelaskan genealogi pemikiran, konteks pemikiran, dan hubungannya dengan masyarakat.
Sedang teori yang digunakan adalah teori kritik nalar poltik yang digagas oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri, teori fikih sosial yang digagas oleh KH Sahal Mahfudh, dan klasifikasi tiga paradigma relasi agama dan negara menurut Munawir Sadzali.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Wahbah az-Zuhaili dan Ahmad at-Tayyib merupakan seorang cendekiawan terkemuka dalam bidang keislaman dan pengaruhnya sangat luas di dunia Islam. Wahbah az-Zuhaili dan Ahmad at-Tayyib terkenal dengan pemikirannya yang moderat yang menekankan adanya moderasi dalam hukum Islam. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa indikator, antara lain fleksibilitas dalam hukum Islam, pembaruan atau ijtihad dalam hukum Islam, dan tidak fanatik terhadap suatu mazhab atau pendapat dalam hukum Islam.
Wahbah az-Zuhaili dan Ahmad at-Tayyib telah berkontribusi memberikan pencerahan dalam masalah khilafah yang dinilai sebagai produk ijtihad dan dapat diubah maupun diganti dengan sistem lainnya yang selaras dengan nilai-nilai substansial Islam.
Wahbah az-Zuhaili dan Ahmad at-Tayyib berpendapat bahwa Islam tidak menentukan jenis sistem pemerintahan berupa khilafah karena tidak ada dalil Alquran dan hadist yang secara eksplisit memerintahkan untuk mendirikannya.
“Pemikiran Wahbah az-Zuhaili dan Ahmad at-Tayyib tersebut sangat relevan untuk konteks negara bangsa di Indonesia, khususnya untuk membangun fikih kebangsaan (fiqh al-wat}aniyyah) dan demokrasi,” katanya. (*)