YOGYAKARTA — International Standard Organization (ISO) telah meluncurkan ISO 55000 yang menyatakan semakin pentingnya manajemen aset yang berkualitas. ISO yang dirilis tahun 2014 ini menggantikan British Standards Institution PAS 55 yang diadopsi secara internasional oleh perusahaan manufaktur, peralatan, pertambangan dan transportasi. ISO 55000 memiliki standar internasional yang memiliki wawasan lebih luas, mencakup aset keuangan dan fisik.
Demikian diungkapkan Winda Nur Cahyo ST, MT, PhD, dosen Magister Teknik Industri Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII Yogyakarta kepada wartawan Selasa (28/11/2017). Aset adalah segala sesuatu yang dimiliki sebuah organisasi dan memiliki nilai aktual atau potensial.
“Setiap perusahaan secara umum mempunyai aset, baik berupa aset finansial atau bersifat fisik, tangiabel atau intangiabel,” kata Winda yang menyelesaikan Doktor of Philosophy dari Universitas Wollonggong, Australia ini.
Menurut Winda, saat ini, Indonesia belum menerapkan ISO 55000, karena masih menunggu verifikasi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jika ISO ini diterapkan akan terjadi booming kebutuhan SDM bidang aset manajemen untuk perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dijelaskan Winda, semakin besar organisasi akan memiliki aset yang semakin banyak dan komplek. Sehingga organisasi tersebut memerlukan sumber daya tersendiri dalam pengelolaanya. Karena itu, ke depan, banyak perusahaan besar mulai berpikir bagaimana mengelola aset yang komplek secara efektif dan efisien.
“Kebutuhan ini memunculkan cabang ilmu baru dari manajemen yaitu aset manajemen beserta standar sistem manajemennya. Untuk memenuhi SDM, Magister Teknik Industri PPs FTI UII telah mempersiapkan untuk mendidik SDM menjadi tenaga ahli dan profesional di bidang aset manajemen.
Dengan mengimplementasikan manajemen aset, ujar Winda, sebuah organisasi akan dapat memahami dan mengoptimalkan nilai aset yang dimiliki. Selain itu, juga dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi melalui pengelolaan aset secara efektif, efisien, konsisten dan berkesinambungan.
Namun, kata Winda, tidak mudah menerapkan manajemen aset perusahaan karena kompleksitas. Sebab proses pengelolaan aset sering terjadi tarik menarik kepentingan dari pihak-pihak atau departemen yang terlibat, khususnya sistem produksi.
Tarik menarik itu, kata Winda, terjadi karena masing-masing departemen mempunyai Key Performance Indicator (KPI) yang harus dicapai. Misalnya, dalam pengelolaan mesin produksi, kepentingan dari finance dan purchasing adalah meminimalkan harga atau biaya. Sedang departemen maintenance dan produksi adalah keandalan (keandalan tinggi akan berujung pada biaya yang juga tinggi).
Tarik menarik kepentingan, ujar Winda, sudah sering dalam sistem industri. Kontribusi dari aset manajemen dalam kasus ini adalah bagaimana membuat sebuah sistem, strategi dan kebijakan untuk menyeimbangkan biaya, resiko, dan kinerja dari aset untuk mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dalam tesisnya, Winda mengusulkan perlu adanya sebuah framework dan model yang dapat membantu menyelesaikan konflik kepentingan. Sehingga pimpinan organisasi atau korporat bisa menyelesaikan konflik dengan optimal.