KARBON aktif yang terbuat dari tempurung kelapa sawit memiliki keunggulan permukaan yang sangat lebar. Sehingga karbon aktif ini sangat efektif untuk mengatasi pencemaran lingkungan hidup terutamà sebagai adsorbent.
Demikian hasil penelitian Drs Allwar MSc, PhD Dekan Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (F MIPA) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Penemuan ini diperoleh setelah melakukan beberapa kali percobaan dengan berbagai bahan dasar dan dengan proses baik secara kimia atau fisika.
Dijelaskan Allwar kepada jogpaper.net, penelitian ini dilatarbelakangi banyaknya warga yang menggunakan arang sebagai penyaring air. Namun hasilnya, kurang efektif sehingga memunculkan ide untuk meneliti dan membuat arang yang diaktifkan atau karbon aktif.
“Karbon aktif berbeda dengan arang. Kalau arang dibuat dengan proses pembakaran di ruang terbuka. Hasilnya arang dengan struktur yang jelek seperti sedikit berpori dan lunak,” kata Allwar di ruang kerjanya, Kamis (1/12/2016).
Ada dua cara yang dilakukan untuk pembuatan arang atau karbon aktif yaitu menggunakan proses kimia dan proses fisik dalam gas yang inert. Sedangkan bahan-bahan untuk membuat karbon aktif bermacam-macam dan telah diuji coba. Di antaranya, tempurung kelapa, tempurung kelapa sawit, ampas tebu, bambu, tulang hewan, dan tandan kosong pisang.
Selain itu, proses pembakarannya pun dilakukan menggunakan suhu panas yang berbeda-beda. Dalam penelitiannya, Allwar menggunakan suhu antara 300 C hingga 800 C. “Suhu panas ini menentukan luasnya permukaan karbon aktif yang dihasilkan,” kata Allwar.
Dalam penelitian ini, Allwar lebih menekankan pada proses kimia. Prosesnya, sebelum dilakukan pembakaran ditambahkan dengan zat KOH atau H3PO4 atau Zn Cl2. Penambahan zat kimia ini menghasilkan pori-pori dengan tiga ukuran.
“Pertama, pori-pori berukuran micro dengan diameter lebih kecil dari 2 nanometer (nm). Kedua, meso dengan pori-pori yang berukuran 2-50 nanometer (nm). Ketiga, makro pori lebih dari 50 nm serta menghasilkan permukaan yang luas,” kata Allwar.
Sedangkan bahan yang paling keras yaitu tempurung kelapa sawit menghasilkan karbon aktif yang paling bagus. Berikut hasil penelitiannya, dengan pembakaran hingga suhu 300 C menghasilkan permukaan 695 m2g-1. Kemudian dengan suhu 400 C menghasilkan permukaan 1220 m2g-1. Menggunakan suhu 500 C menghasilkan permukaan 1437 m2g-1. Suhu 600 C menghasilkan permukaan 1330 m2g-1. Suhu 700 C menghasilkan permukaan terluas 1915 m2g-1. “Tetapi dengan temperatur panas 800 C justru hasilnya menurun hanya diperoleh luas permukaan 621 m2g-1,” jelas Allwar.
Pembakaran tempurung kelapa sawit dengan temperatur 700 C diperoleh permukaan karbon seluas 1915 m2g-1. Jadi satu gram karbon aktif memiliki luas permukaan 19 meter x 100 meter atau hampir lima kali lapangan bola basket. “Hasil luas permukaan tertinggi yang pernah dicapai adalah 2250 m2g-1 yang telah di publikasikan dalam jurnal nasional dan internasional,” tambahnya.
Selama ini, kata Allwar, tempurung kelapa sawit merupakan limbah padat industri minyak kelapa sawit. Karena itu, pengolahan tempurung kelapa sawit menjadi karbon aktif akan menghindarkan terjadinya pencemaran lingkungan.
Sedang karbon aktif yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk mengatasi pencemaran lingkungan. Di antaranya, penyerap kontamina dari udara dan air; pemurnian air; menyaring udara sebelum masuk ke air conditioner (AC), bahkan bakteri pun dapat tersaring oleh karbon aktif yang mikropori. Kegunaan lain seperti katalis dalam reaksi; komposit yang menghantarkan listrik; penyerap logam-logam berat; dan kapasitor baterai.
Bagi dunia industri, karbon aktif ini dapat digunakan untuk mengolah air limbah seperti air sisa pencucian peralatan elektronik pada industri ekektronik sehingga airnya dapat digunakan kembali atau dalam pengolahan air sebelum air di buang ke lingkungan. “Karbon aktif ini bisa juga untuk mensterilkan air dan bisa langsung dikonsumsi tanpa dimasak, seperti yang banyak digunakan dalam industri air minum,” tandasnya.
Menurut Allwar, pengembangan karbon aktif ini bisa memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ia membandingkan arang biasa yang tidak diproses menggunakan bahan kimia harga per kilogramnya Rp 10.000. “Kalau karbon aktif ini setiap kilogramnya bisa mencapai Rp 100 ribu,” katanya.
Dengan penemuan baru ini, Allwar mempunyai pengalaman yang unik. Ia membawa karbon aktif ini dalam botol sebagai bahan presentasi di perguruan tinggi luar negeri. Ketika di Bandara Adi Sutjipto, ia ditahan petugas keamanan yang mencurigai botol yang berisi karbon aktif.
“Saya ditanya ini apa? Saya jelaskan jika itu karbon aktif. Setelah ditanya-tanya dan dimintai kartu identitas bahwa saya berprofesi sebagai dosen, petugas akhirnya mengerti dan memperbolehkan melanjutkan perjalanan,” kata Allwar.
Penulis : Heri Purwata